All posts by admin

H.Agus Salim

oleh : HI.St. Bandaro KaciakH. Agus Salim.
Pendekar “Bijak” dalam Berdiplomasi

Anonim menulis “sebagai tokoh perjuangan, ia punya kadar kualitas yang sulit dicari tandinganya. Terutama kecerdasannya, barangkali termasuk jenius. Semua orang yang pernah bicara dengannya mengakui itu. Mohammad Natsir (alm), tokoh Islam termasyur mengungkapkan, “ kalau kita hendak menggunakan kualifikasi intelektual brilian pada salah seorang putra Indonesia, maka saya rasa yang paling pertama tepat ialah pada Haji Agus Salim”

Tokoh tiga jaman, Prof.DR Ruslan Abdulgani, mengakui, “siapa yang pernah mengenal Oude Heer Salim dari dekat, pasti tertarik oleh nilai isi segala pembicaraannya, yang mencerminkan dua hal, yaitu ketajaman otak dan mendalamya kehidupan keagamaannya,”
Fisiknya biasa-biasa saja, bahkan ukuranya termasuk kecil. Yang tak pernah lupa adalah jengotnya selalu dipelihara dan rokok kretek yang tak pernah berhenti mengepul dari dua bibirnya. Tapi tubuhnya yang kecil, tidak menjadikan dirinya kecil hati berhadapan dengan orang lain. Justru ia tampak gesit dan selalu mendominasi dalam setiap pembicaraan, seolah tidak memberi kesempatan lawan bicaranya mengungkapkan dua atau tiga patah kata.
George McT. Kahin, professor di Universitas Cornell Amerika Serikat, mengungkapkan kesaksiannya sebagai berikut: “Saya mengundang kedua beliau itu bersantap di ruangan pertemuan tenaga pengajar, dan duduk di tengah kedua beliau itu saya terperangah. “ yang dimaksud beliau disitu adalah Ngo Dinh Diem, tokoh perjuangan kemerdekaan Vietnam Selatan, dan Agus Salim. Diem telah dikenal sebagai seorang yang senantiasa merajai setiap percakapan. Percakapan berlangsung dalam bahasa Prancis- bahasa yang paling dimahiri Diem. Namun, Haji Salim tetap mengungguli Diem, berbicara amat fasihnya, sehingga Diem tidak dapat peluang sedikitpun!”`
Lain lagi kesan Mohammad Hatta. Disamping kecerdasan, di mata mantan Wakil Presiden RI pertama ini, kekuatan Salim terletak pada keyakinan, ketangkasan, dan ketegasannya membela suatu pendirian yang sudah diambilnya. Setia kawannya juga besar. Ia sanggup menghadapi berbagai kesuliatan ddengan sabar.
Dengan segala kelebihannya itu, baik lawan maupun kawan jadi segan kepadanya, termasuk Belanda. Di antara tokoh perjuangan, Salim termasuk yang belum pernah meringkuk di penjara. Meskipun kritikan-kritikannya kepada Belanda sangat berani dan tajam. “Saya selalu sangat hati-hati akan jangkauan undang-undang pengusa dan berusaha untuk tidak kena jerat, “kata Agus Salim tentang kiatnya.
Bukan berati tanpa kelemahan, Ia kadang kurang sabar untuk mengupas suatu masalah sampai tuntas,” ujar Hatta.
Tapi kelemahannya yang sungguh mengherankan sebagai mana dicatat Prof, Schermerhorn dari Belanda adalah, Salim melarat sepanjang hidupnya!
Sebagai seorang yang berpendidikan dan berkemampuan tinggi, apalagi ia menjadi pemimpin ternama, agag sulit dipahami bila Salim hidup dalam kemiskinan. Tidak sulit rasanya bila Salim yang menguasai 6 bahasa asing (Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Arab dan Turki ) ini ingin hidup enak dan bergelimang harta. Dengan bekerja di pemerintah Belanda, misalnya, tentu ia akan kaya. Toh itu tidak ia lakukan.

Kukuh

Tahun 1925, ia pernah diminta menjadi pimpinan redaksi harian Hindia Baroe, milik seorang pribumi dan Belanda. Di tangan Salim, Hindia Baroe maju pesat. Tetap karna tulisan-tulisan Salim yang pedas dan tajam mengeritik Belanda, membuat pemiliknya gerah juga . Mereka meminta Salim memperlunak Kritikannya. Tanpa pikir panjang, esok harinya Salim mengundurkan diri dari jabatanya.”Pendapat saya tentang Pemerintah Hindia Belanda dan kebijaksanaannya, saya tidak bersedia ditawar-tawar,” katanya kepada Mohammad Roem yang menanyakan keputusannya itu.
Di Jakarta ia bersama keluarganya tinggal dirumah kontrak yang satu ke rumah kontrak yang lain. Bukan rumah megah di tepi jalan raya, melainkan dirumah jelek di gang-gang sempit dan becek. Di antaranya Salim pernah tinggal di daerah Tanah Abang di Karet , Jatinegara, Gang Kerlonong, Gang Tapekong, Gang Listrik dan banyak lagi. Khususnya di gang Listrik, di sinilah justru mereka hidup benar-benar tanpa listrik, karna tak kuat membayar sewa listrik
Mohammad Roem, orang yang sejak muda dekat dengan Salim menyaksikan sendiri. Salim dan keluarganya pernah tinggal dalam satu ruangan sempit. ”Kopor-kopor bertumpuk di pinggir ruangan serta beberapa kasur digulung , sedangkan di tengah ada ruangan yang bebas untuk duduk-duduk dan menerima tamu,” tutur Roem. Menderitakah mereka? Orang luar melihatnya tentu akan menjawab ya. Tetapi tidak dengan Salim. Ia adalah seorang ayah yang sangat dekat dan sayang pada keluarganya-semua anak-anaknya tidak ada yang disekolahkan di luar, tetapi di didik sendiri. Bukan tak mampu mengongkosi, tetapi karena prinsip. Seorang ayah yang pasrah dan tawakkal juga nampak dari sikapnya yang tenang ketika hendak pindah rumah, namun tak ada uang untuk biaya.”Allah Maha Besar. Kita tentu akan diberi-Nya jalan.”Katanya tenang. Tak lama kemudian datang wesel, kiriman pembayaran sesuatu yangtak di duga-duga.

Dibesarkan Belanda

Boleh di bilang, sejak remaja Salim di besarkan Belanda. Di samping menimba ilmu di sekolah Belanda, ia pernah di bimbing secara khusus oleh Brouwer, seorang guru Belanda yang terpikat kepada kecerdasannya. Semasa menempuh pendidikan HBS di Jakarta, ia juga indekos pada keluarga Belanda bernama Koks. Ayahnya juga termasuk pula pejabat di pemerintah Belanda sehingga hidupnya relatif tidak mengalami penderitaan karena penjajahan. Lalu mengapa ia kemudian berbalik menentang penjajahan Belanda.
Lahir dari pasangan Angku St. Mohammad Salim dan Siti Zainab pada 8 Aktober 1884 di nagari Kotogadang, Kabupaten Agam Sumatera Barat, sebuah nagari yang banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual di Indonesia. Ayahnya adalah seorang Hoofdjaksa (Jaksa Kepala) di Pengadilan Tinggi Riau dan daerah bawahannya. Kedudukan Hoofdjaksa bagi penduduk pribumi termasuk yang berkelas dan sangat terhormat. Itulah sebabnya Salim dan kakaknya bisa di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa.Selama menempuh pendidikan di ELS, prestasi Salim sangat cemerlang. Dalam semua pelajaran, ia mengungguli anak-anak Eropa lainya. Pun tatkala menempuh Hogere Burger School (HBS)- sekolah setingkat SMA khusus anak-anak Eropa di Jakarta. Salim yang punya nama asli Masyudul Haq ini tetap unggul. Pada akhir studi, ia berhasil keluar sebagai lulusan terbaik di HBS se- Hindia Belanda (Jakarta, Bandung dan Surabaya).
Sebenarnya ia ingin melanjudkan studi kedokteran di Belanda, tapi kandas karena tiada biaya. Berbagai upaya dilakukan, diantaranya mengajukan beasiswa dan persamaan status kewarganegaraan sederajat dengan bangsa Eropa, namun gagal juga. Kabarnya, Kartini pernah mengusahakan beasiswa untuk salim, tetapi juga nihil. Disinilah awal titik balik pada diri Salim mulai muncul. Ia mulai tidak senang kepada Belanda yang menjalankan politik diskriminasi.
Gagal berangkat ke negeri Belanda, Salim kembali ke Riau dan bekerja pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Disini ia bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris. Sebagai lulusan HBS, ia mememang menguasai sejumlah bahasa asing: Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman. Untuk pemuda seukuran Salim (21 Th), pekerjaan ini cukup mentereng.
Namun lain bagi kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang mencemaskan. Di mata kedua orang tuanya, putra kelima dari lima belas bersaudara itu menunjukan tanda-tanda menyimpang dari nilai-nilai masyarakat ketimuran, lebih-lebih Islam. Bahkan tanda-tanda menyimpang itu sudah dirasakan sejak Salim menempuh pendidikan di HBS. Salim sendiri tidak mengelak. Itu sesuai dengan pengakuan Salim ketika memberi kuliah di Cornell University Amerika Serikat tahun 1953.”Pendidikan HBS telah berhasil menjauhkannya dari Islam “, akunya. Setelah lima tahun di HBS, Salim merasa tidak dapat berpegang kepada salah satu agama apapun secara sungguh-sungguh. Hanya karena keluarganya termasuk taat beribadah, maka dalam berislam seakan-akan ia hanya melanjudkan tradisi. Saat itu ia melihat agama hanya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang yang kurang terdidik kalau tidak, orang bakal memasuki jalan sesat.
Dalam kondisi iman yang labil seperti itu, datanglah tawaran dari pemerintah Hindia Belanda untuk bekerja di Konsulat Belanda di Jedah, Arab Saudi. Atas dorongan orang tuanya, Salim pun berangkat ke Jedah pada tahun 1906 dalam usia 22 tahun. Orang tuanya berharap, selama di Arab Saudi itu, Salim bisa kembali memulihkan imannya Apalagi di sana ada pamannya yang menjadi guru besar sekaligus imam di Masjidil Haram, yakni Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabauwi, seorang ulama besar asal Minangkabau yang kini mungkin tidak ada yang dapat menyamai reputasi beliau.
Namun, selain orang tuanya, ternyata Prof Snouck Hurgronje juga berperan besar atas keberangkatan Salim Ke Jeddah itu. Dalam pertemuanya dengan Salim tahun 1906 di Jakarta, orientalis terkenal itu menyarankan Salim agar tidak usah melanjudkan studi kedokteran. “Kerena menjadi dokter itu bayarannya kecil;” ujar Hurgonje yang lantas menawarkan gagasan yang menurudnya lebih baik. Di mata Hurgronje, Salim adalah seorang intelektual muda yang sangat cerdas dan fikirannya tajam serta punya keberanian yang luar niasa untuk ukuran orang melayu. Maka atas anjuran Hurgronje pula pemerintah Hindia Belanda menawarkan pekerjaan di konsulat Jeddah. Disana Salim bertugas sebagai ahli penterjemah dan mengurusi jemaah haji asal Indonesia.
Terkabul harapan orang tua Salim. Disamping bekerja, Salim tekun mendalami Islam kepada Sych Ahmad Khatib, yang juga menjadi gurunya adalah KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadyah. Saat itu, Syech Ahmad terkenal sebagai salah satu tokoh pembaharu dari manzhab Iman Syafi’i
Sebagai orang yang pernah mendapat gemblengan dari sistim pendidikan barat dan berpengetahuan umum cukup luas, Salim menerima pelajaran dari pamannya dengan sikap kritis. Syech Ahmad meladeni pertanyaan muridnya itu dengan arif dan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot. Itulah yang membuat roh Islam menancap kokoh di sanubari Salim. Islam bagi Salim bukan lagi sebagai warisan semata, tetapi sudah dilandasi pemahaman yang mendalam. Ajaran Islam yang memang menentang penindasan atas manusia, apa lagi saat itu Muhammad Abduh, intelektual dari Mesir, sedang gencar-gencarnya melancarkan pembaharuan islam. Gerakan Abduh ini berpengaruh luas di dunia Islam dan membangkitkan negara-negara Islam yang masih banyak dihimpit kaum penjajah.
Salim kembali ke Tanah Air pada 1911. Sempat lima hari bekerja di Kantor Pekerjaan Umum Jakarta, Salim lantas mengundurkan diri dari pegawai pemerintah Hindia Belanda. Ia kemudian kembali ke Kotogadang mendirikan sekolah dasar HIS. Tahun 1915 ia kembali ke Jawa dan tak lama kemudian ia menceburkan diri ke dunia pergerakan lewat Serikat Islam (SI)

Pemberi Cap Islam di SI

Sejak masuk Serikat Islam (SI), peran Salim cukup besar. Bahkan dalam perjalannya, Salim pernah menjadi tangan kanan pimpinan utama SI, yakni HOS Tjokroaminoto. Keduanya punya kelebihan dan kelemahan yang saling melengkapi. Tjokro dikenal sebagai pemimpin yang kharismatik, sedangkan Salim adalah tokoh intelektual Islam yang luas pengetahuanya.
Menurut Derliar Noer, didalam bukunya Gerakan Modern Islam Indonesia, Salimlah yang lebih banyak memberi cap Islam pada SI.”Salim bukan saja yang mengetahui pikiran-pikiran Barat, tetapi dialah pimpinan SI yang paling mengetahui tentang Islam dari sumber aslinya,” tulis Deliar. Berbeda dengan Tjokroaminoto. D.A Ringkes, penasehat Bumiputra yang sering mengadakan perjalanan bersama Tjokroaminoto menilai, “Tjokroaminoto lebih merupakan priayi yang berpaham bebas daripada seorang Islam yang fanatik.”
Peranan Salim di SI sangat menonjol terutama alam merumuskan kebijakan dan strayegi perjuangan organisasi. Hal itu tampak saat ia berusaha membersihkan orang-orang PKI yang mulai menyusup ke tubuh SI. Usaha pembersihan itu terkenal dengan istilah “Disiplin Partai”. Pertentangan PKI dengan Islam di SI sudah mencuat sejak tahun 1917. PKI diwakil Dharsono, dan Semuan dari cabang Semarang, sedang Islam diwakili Agus Salim dan Abdoel Moeis. Sikap Tjokroaminoto sendir tampak kurang tegas terhadap konflik tersebut. Ia lebih mengutamakan persatuan di tubuh SI ketimbang perbedaan yangmenurutnya bukanlah sesuatu yang prinsip. Berbeda dengan Salim. Ia berpendapat masalah PKI sangatlah prinsip, karena menyangkut Kaidah.
Perdebatan sengit antara PKI dengan Salim tak terelakan saat digelar Kongres Luar Biasa SI ke-61 di Surabaya tahun 1921. Dua agenda besar dibahas dalam kongres : masalah disiplin partai dan penegasan asas SI . Soal diazas Salim menyatakan : “ tidak perlu isme-isme yang mengobati penyakit gerakan. Obatnya ada dalam asaz sendiri, asas yang lama dan kekal, yang tidak dapat dimubahkan orang, sunguhpun sedunia telah memusuhi dengan bentuk permusuhan lain. Asas itu adalah Islam.”
Dalam hal PKI, Salim meminta Kongres mengeluarkannya dari SI. Sambil mengutip ayat Al-Qur’an, salim menegaskan, “Di dalam Al-Quran terkandung perintah yang melarang kita bersaudara, yaitu berikatan lahir batin dengan orang yang tidak sama berkeyakinan dengan kita. Karena meraka akan selalu menjerumuskan kita dan mereka suka bila kita tertimpa bencana.”
Menanggapi Salim, semua menjawab bahwa SI perlu taktik yang lebih luas. Selama ini, katanya SI hanya mampu mengumpulkan orang Islam saja buat bekerjasama-sam membela hak rakyat. Padahal, selain Islam masih ada orang lain yang jumlahnya tidak sedikit. “PKI sudah nyata bisa membawa orang-orang Ambon, Manado, dan lain-lain rakya Hindia yang tidak beragama Islam. Bilangan mereka tidak sedikit, pengaruhnya harus pula dihargai . Disini PKI sudah membuktikan taktiknya, bekerjasama dengan orang Kristen guna keperluan rakyat.”
Akan tetapi, semua argumentasi dalam pembelaan Semaun dapat dipatahkan salim dan Moeis. Dalam kongres itu salim telah menunjukan dirinya sebagai pemimpin Islam yang tangguh, yang tidak saja menguasai ilmu-ilmu Islam, melinkan juga pemikiran-pemikiran Barat seperti Komunisme.Sehingga argumentasi Salim dalam perdebatannya dengan golongan Komunis sangat tajam. Kongres akhirnya mesahkan keputusan disiplin partai dan Islam sebagai asas SI. Akibatnya PKI harus keluar dai SI. Tak lama kemudian, Salaun dan Darsono,membentuk SI sendiri yang dikenal dengan sebutan “ SI Merah”.
Tahun 1934 Tjokroaminoto meninggan dunia. Salim menggantikannya sebagai ketua umum SI.Setelah itu peran Salim di SI surut, seiring dengan konfliknya dengan Aboekosno.Pokok utamanya adalah garis partai. Salim mengusulkan agar garis kebijaksanaan SI dirubah,dari non kooperatif menjadi kooperatif. Pertimbangannya ,demi menyelamatkan SI sendiri.Soalnya pada tahun – tahun itu sudah mulai bertinadak keras, terhadap pihak – pihak penentangnya.Tetapi karena usulannya itu Salim disingkirkan Aboekosno dari SI.
Tahun 1936, Salim bersama Sangadji membentuk Barisan Penyadar. Setelah pertai Masyumi muncul pasca kemerdekasan saling bergabung dengan partai politik terbesar yang pernah dimiliki umat Islam Indonesia itu.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953, ia mengarang buku dengan judul “ Bagaimana Takdir, Tawaqal dan Tauhid harus dipahamkan ?”. Yang lalu diperbaiki menjadi keterangan filsafat tentang Tauhid, Takdir dan Tawaqal.
Salim meninggal dunia pada 4 November 1954 pada usia 70 tahun di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta dan mendapat gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional tahun 1961. Salim meninggalkan 7 anak dan seorang istri bernama Zainatun Nahar Almatsier.

Diceritakan kembal oleh HI, dari Titian Kaba 02/10/06 ( FZ/tk dan berbagai sumber)

Kotogadang di pasimpangan jalan

oleh : JO St. Lembang Alam.

Surat Terbuka

Kepada yth Niniak Mamak Panghulu nan XXIV

Perihal: Kotogadang di pasimpangan jalan
Sebuah pemikiran untuk memrealisasikan “Adaik basandikan Syarak dan Syarak basandikan Kitabullah”

Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmathullaahi wabaraqaatuh

Manyambah ambo angku datuak.
Walaupun angku2 datuak sajo nan ambo sambah sarapek papeknyo tuangku , cadiak pandai , wali nagari dan seluruh warga dunsanak anak nagari Kotogadang ambo muliakan.

Samo samo awak maliek jo mato kapalo dan hati nan tarenyuah, alah diturunkan Tuhan musibah dinagari awak yang telah memporak porandakan Masdjid di Tapi dan rumah dunsanak nan lain. Semoga musibah ini akan merupakan peringatan untuak awak sadonyo dan meyakini bahwa Tuhan tidak menciptakan sesuatu yang tidak ada manfaatnyo. Baitu pulo kajadian dinagari awak kalau awak cermati dengan keimanan kita, tentu ado makna nan takanduang didalamnyo. Marilah awak mancaliak baliak kabalakang apo sajo nan awak karajokan sampai2 Tuhan menghancurkan sebagian musajik awak, tapi Tuhan masih maninggakan kubah utamonyo. Apakah ini tidak berarti bahwa Tuhan melihat bahwa tidak ada gunanya lagi kita memiliki masjid yang gadang tapi langang. Tuhan maninggakan kubah utamonyo mungkin ada mukasuiknyo karena Tuhan masih menyayangi masjid kita itu karena masih ada ummatnya yang masih mau meluangkan waktunya yang banyak luangnyo (maklum iduik di kampuang) untuk melakukan shalat bajamaah dan mandangakan ceramah agama sekali sekali di musajik ko. Untuk mereka ini yang masih taat meramaikan mesjid di Tapi ditinggalkan bagian yang utama dari mesjid untuk melaksanakan rutinitas shalat yang merupakan tiang agama kita dan ceramah agama untuk menguatkan keimanan kito.

Apakah kita akan menerima peringatan Tuhan ini tetapi dan “tidak” akan merobah cara kita menjalankan perintah agama kita untuk meramaikan mesjid????

Kalau jawabannya YA untuk pertanyaan ini, maka saya minta Niniak mamak Panhulu Nan XXIV untuk melihat kembali kesepakatan datuak datuak yang ambo danga akan mamintak anak kamanakan untuk membangun kembali masjid kita yang rusak itu. Alangkah berdosanya kita semua karena perbuatan kita membangun mesjid tidak diiringi dengan tujuan untuk menegakkan kembali syiar agama dikampung kita yang kelihatannya sudah mulai suram, tetapi hanya untuk menunjukkan kehebatan kita yang bersifat duniawi dengan memperlihatkan kepada orang lain Kotogadang telah berhasil membangun kembali mesjid dikampungnya yang merupakan warisan dari orang2 tua kita terdahulu.. Satu sifat ummatnya yang sangat tidak disukai oleh Tuhan. Jadi sekali lagi janganlah kita bangun kembali mesjid itu yang akan makin memperlihatkan sifat sifat kita yang kufur nikmat. Ya Tuhan ampunilah kami dan jauhkanlah kami dari sifat sifat dan perbuatan yang tidak engkau sukai ini. Amin.

Tapi kalau jawaban pertanyaan diatas tadi “TIDAK” yang berarti kita tidak akan mengulangi kelalaian dan kesalahan kita yang lalu, maka marilah kita bersama sama untuk meminta ridha dan hidayah dari Tuhan. Kita gerakkan segala dana dan daya yang kita miliki dengan prinsip ringan sama dijinjiang kok barek samo dipikua.untuk segera membangun kembali rumah Tuhan mesjid kita di Tapi yang sudah dirusakNYA karena sifat kita yang sudah menzalimi rumahNYA itu. Marilah kita minta ampun kepadaNYA dan berjanji untuk memenuhi perintahNYA menggunakan mesjid tempat shalat berjamah. dan pusat syiarnya agama kita. Semoga Tuhan membuka pintu taubatnya untuk kita semua; dan menerima amal shalih kita yang akan diganjariNYA dengan syurga seperti yang telah dijanjikanNYA berkali-kali didalam Al Quran.

Angku datuak,tuanku,cadiak pandai,walinagari dan dunsanak sadonyo.
Kalau lah bulek hati awak untuak membangun kembali mesjid di Tapi sebagai pusat peribadatan dan syiarnya agama Islam dikampuang, ambo susun jari nan sapuluah jo kapalo nan ditunduakkan dan bukan mukasuik untuak balagak tau, ambo minta diizinkan untuak manyampaikan nan takalang dimato taraso diati sehubungan dengan pembangunan mental spiritual dan adaik istiadaik dinagari Kotogadang.

Jauh sebelum musibah menimpa nagari awak, sadonyo awak alah tau baraso di Kotogadang bulan Juli nan akan datang akan diadokan alek anak nagari untuk malewakan gala Datuak Cumano jo Datuak Bagindo Kalii. Tapi Tuhan berkehendak lain, alun takarajokan niaik baik untuk baralek gadang tu, Beliau menurunkan musibah dengan merusak rumah rumah anak nagari dan rumah NYA sendiri.

Sekarang kita dihadapkan kepada pilihan bagaimana kita harus menyikapi keadaan ini. Apakah kita akan teruskan rencana dibulan Juli yang akan datang itu dan secepatnya membangun kembali mesjid kebanggaan kita di Tapi sehingga tidak ada lagi kesan kehancuran yang tidak/belum terbenahi pada waktu acara baralek gadang nanti. Atau pilihan kedua tetap menjalankan keduanya walaupun nanti bulan July yang kan datang dimana anak nagari belum sempat menyelesaikan tugas membangun kembali Kotogadang terutama mesjid yang rusak.
Pilihan yang pertama tentu sangat baik, tetapi mungkin tidak bisa dilaksanakan, dimana rasanya waktunya sangat sempit dan pendanaan yang belum jelas untuk membenahi kerusakan yang terjadi dikampung kita sampai July nanti.
Pilihan kedua mungkin bisa dilaksanakan. Tapi apakah mungkin kita baralek dalam keadaan kampung kita masih belum kembali seperti semula kalau tidak mau dikatakan masih berantakan.

Sebagai seorang yang sering berandai andai dan tetap berpikia praktis dan pragmatis saya memilih pilihan pertama yang dimodifikasi sehingga dengan sekali mendayung biduak, duo pulau bisa dilewati. Baanyo angku datuak kok dana nan alah ado didunsanak awak yang kabatagak datuak tu disumbangkannyo sajo kanagari untu membangun mesjid dan memperbaiki kerusakan lain yang mungkin memerlukan perbaikan. Untuak itu saya juga minta kerelaan dari anak kamanakan datuak Ciumano dan datuak Bagindo Kali untuk menghibahkan dana mereka ini ke nagari.
Tapi sebagai imbalannya pulang kapado angku datuak niniak mamak panghulu nan duo puluah ampek. Baanyo kalau bulan Juli nanti niaik mereka untuak malewakan datuaknyo dan mengadakan alek nagari mereka indak mamotong kabau doh tapi dilewakan di Tapi bersamaan dengan presmian pemakaian masjid di Tapi yang telah selesai dipugar/diperbaiki yang dikelola oleh Wali nagari dan seluruh anak nagari Kotogadang.
Seperti kata pepatah awak “kok gadang aia tapian dipindahkan”. Kok paralu untuk mengenang kepedulian anak kamanakan datuak Cumano dan datuak Bagindo Kali dan kebijaksanaan dari Niniak Mamak Pangulu nan Duopuluah Ampek seperti diatas, maka kepada kedua datuak ini ditambahkan satu kata “Gampo” dibelakang gelar mereka yang sekarang ini. Sehingga kedua datuk ini akan bergelar Dt.Cumano nan Gampo” dan “Dt. Bagindo Kali nan Gampo, yang akan mengingatkan kita semua kepada suasana pada waktu mereka malewakan gala pasukuan mereka ka anak nagari.
Kapado dunsanak anak kamanakan Dt. Cumano dan Dt. Bagindo Kali ambo minta kebesaran jiwa dunsanak sadonyo untuk menerima gala “datuak indak bakabau” yang mungkin akan taloncek dari muluik orang orang bersifat ria. Percaya dunsanak kebesaran kaum dunsanak disisi Allah tidak diukur dengan rebahnya kabau babunyinyo aguang, tapi dari keikhlasan dunsanak dalam menjalankan perintahNYA dan menjaga silaturrahmi dengan mengenyampingkan kepentingan kaum..

Sakitu nyoh nan kaambo sampaikan kapado angku datuak, tuangku jo cadiak pandai sarato Walinagari jo anak nagarinyo. Pulang kapado nan bakuaso kok lai atau indak kamanarimo buah pikiran yang mungkin akan dianggap agak berbau reformasi ini.

Kok ado nan salah itu datangnyo dari ambo dan untuk itu ambo minta maaf, kok nan bana itu datangnyo dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, dan marilah kita tidak bosan2nya mengucapkan syukur kepadaNYA. Alhamdulillaahirabbil alamiin.

KepadaNYA kita pulangkan semuanya.
Lahaulawala Quwwata illa billa hal aliyyil aziim.

Wassalamualaikum wr.wb.

Gempa Padang Dipicu Pergerakan Segmen Singkarak

JAKARTA, KCM – Gempa besar yang mengguncang Padang dan sekitarnya hari ini dipicu pelepasan energi di patahan Sumatera (sesar Semangko) yang melalui segmen Singkarak. Demikian disampaikan Dr. Danny Hilman Natawijaya, ahli gempa dari lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

“Gempa terjadi di darat pada patahan Sumatera, segmen yang bergerak di Singkarak,” ujar Danny, saat dihubungi KCM melalui telepon, Selasa (6/3). Di wilayah tersebut memang sudah lama tidak terjadi gempa besar sehingga kemungkinan baru dilepaskan energinya sekarang.

Ia menambahkan, patahan Sumatera yang memanjang di sepanjang Pulau Sumatera bergerak sekitar 1 centimeter setiap tahun akibat desakan lempeng Indo Australia kepada lempeng Eurasia. Bagian barat bergerak ke selatan dan bagian timur bergerak ke utara. Jika lama tak terjadi gempa besar, artinya sedang terjadi pengumpulan energi di patahan.

Sementara itu, sudah 60 tahunan tidak terjadi gempa besar di segmen Singkarak yang meliputi wilayah di sekitar Danau Singkarak, Sumatera Barat. Menurutnya, gempa besar sebelumnya terjadi tahun 1926 dan 1943. “Segmen di sana sudah bergerak sekitar 60 centimeter sehingga cukup kuat untuk memicu gempa sebesar itu,” tandasnya.

Menurutnya dua gempa yang terjadi tadi pagi, masing-masing 5,8 SR pada pukul 10.49 WIB dan 5,9 SR pada pukul 12.51 WIB merupakan puncak gempa di segmen tersebut. Gempa-gempa susulan dengan kekuatan lebih kecil diperkirakan masih akan terus terjadi.

Penulis: Wah

Sumber: Kompas

PP 84/99 Bisa Berimbas Pemekaran

Lubukbasung, Padek–Polemik rencana pelaksanaan PP 84 tahun 1999 tentang perluasan Kota Bukittinggi yang mengambil wilayah potensial Kabupaten Agam kian menghangat. Pemerintah pusat melalui Mendagri meminta Kabupaten Agam bersikap dalam waktu sepekan dan segera melaporkannya ke Depdagri.

Sumber Padang Ekspres di Depdagri menyebutkan, hasil pertemuan Bupati Agam Aristo Munandar dan Wali Kota Bukittinggi Djufri dengan Dirjen PUM Depdagri disebutkan, Agam diberi tenggat waktu sepekan untuk ”menuntaskan” polemik itu di tingkat daerah dan melaporkan hasil keputusannya ke Mendagri, agar PP 84/99 itu bisa segera dilaksanakan. Disebutkan sumber Padang Ekspres, PP 84/99 sendiri, ditekankan harus dilaksanakan, bahkan hal itu menjadi salah satu bahasan khusus dalam rapat koordinasi gubernur se-Indonesia di Surabaya beberapa waktu lalu. Malahan hal itu juga menjadi agenda bahasan khusus dalam pertemuan segitiga yang dilakukan Ditjen PUM, Bupati Agam dan Wako Bukittinggi, Senin (18/2) lalu.

Tiga ketua fraksi di DPRD Agam, seperti Arman J Piliang, Ketua Fraksi Golkar, Syafruddin Ketua Fraksi PKS dan Zulpardi Ketua Fraksi PAN secara tegas menentang pelaksanaan PP 84/99 tersebut. Ditegaskannya, sikap DPRD Agam bersama mayoritas masyarakat Agam sudah jelas dan tegas, menolak pelaksanaan PP 84/99. Bahkan sudah ada opsi lain yang diajukan masyarakat dengan pembentukan Kabupaten Agam Tuo. Dalam artian untuk mengatasi kebuntuan masalah PP 84/99 tersebut, harus dilakukan pemekaran Kabupaten Agam. Hal itu tegas Arman J Piliang, sudah disampaikan ke berbagai pihak termasuk pemerintah pusat, di mana sebutnya masyarakat sudah jenuh dengan pertentangan dan pro-kontra yang nyaris bermuara pada tindakan anarkis.

”Kami berupaya meredam hal itu dengan menyampaikan aspirasi masyarakat ke berbagai lembaga negara. Mestinya hal itu menjadi catatan penting dan diharapkan pemerintah pusat menyikapi hal itu,” tegas Arman. Hal senada diungkap Syafruddin yang meminta pemerintah pusat bersikap arif, dengan merealisasikan aspirasi masyarakat Agam. Sikap Agam jelas menolak pelaksanaan PP 84/99. ”Kita berharap opsi pemekaran daerah menjadi salah satu solusi strategis dalam mengatasi polemik rencana perluasan wilayah Kota Bukittinggi itu. Kita mengantisipasi terjadinya gejolak di tengah masyarakat,” tukas Syafruddin. Di sisi lain Zulpardi, Ketua Fraksi PAN menegaskan, pihaknya berpegang pada aspirasi masyarakat. Warga menyampaikan aspirasi penolakan terhadap PP 84/99 dan itu sudah diputuskan DPRD Agam.

”Sikap dewan sudah final,” ujarnya. Solusi pemekaran, sangat efektif untuk mengatasi kemelut yang terjadi dan diharapkan, pemerintah pusat bisa menganalisa lebih dalam sehingga pro-kontra bisa diatasi dengan elegan. Informasi yang diperoleh Padang Ekspres, pemerintah pusat menjadikan PP 84-1999 salah satu agenda penting yang harus dilaksanakan, mengingat keputusan pemerintah tersebut cukup lama terkatung-katung tanpa arah yang jelas. (*)

Sumber : Padang Ekspres

Berita Duka

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun

Telang berpulang ke sisi Allah SWT, Rky Sjahilma binti Sjafrin Dt. Putih suku Guci a.k. Dt. Malekewi. Almarhumah wafat pada hari Kamis 11 Januari 2007 di Jakarta. Jenazah dibawa ke Kotogadang dan di makamkan pada hari Jumat 12 Januari 2007 di pusaro kaum Dt. Malekewi. Keluarga yang ditinggalkan mohon maaf atas kesalahan & kekhilafan almarhumah semasa hidupnya.

Otonomi Daerah dan Kebangkitan Nagari

* Ciri yang Melekat dalam Pemerintahan Nagari
Oleh Irman

Demokrasi telah tumbuh sejak lama di ranah Minang, sebagaimana dalam sistem adat dan sistem pemerintahan Nagari yang demokratis dengan prinsip Tungku Tigo Sajarangan.

Di sini terbukti memberikan konfirmasi bahwa demokrasi sudah berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau di Sumbar. Dengan demikian sebetulnya perpaduan dalam unsur-unsur penting peraturan adat dan peraturan negara (peraturan perundang-undangan pemerintah) serta norma agama yang berjalan, sudah seharusnya dapat berjalan secara selaras, kompatibel atau dalam pepatah Minang disebut sebagai Tigo Tali Sapilin.

Kembali ke sistem Pemerintahan Nagari, bukan berarti kembali menyelenggarakan Pemerintahan Nagari seperti tempo doeloe, tetapi jiwanya menganut sistem pola penyelenggaraan demokratis yang diterima secara turun temurun oleh masyarakat Sumbar. Pola dimaksud selaras dengan sosial dan budaya masyarakat yang ditata denga manajemen strategi kekinian, sehingga dengan kembali ke sistem Pemerintahan Nagari dapat membawa efek penemu kenalan kembali (recreating) dari pencerahan masyarakat tentang pentingnya pembangunan dari dan oleh masyarakat Nagari secara demokratis. Konkretnya masyarakat perlu dilibatkan sebagai perancang pembangunan (planner) dan pelaksana pembangunan (implementator).

Pada saat ini, jumlah pemerintahan Nagari di Sumbar meliputi 583 nagari. Apa yang penting sebagai ciri yang melekat dalam pemerintahan nagari tersebut ingin saya angkat, yaitu: Pertama, ciri identitas.

Nagari telah menjadi simbol dan perwujudan berbagai tatanan serta sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya orang Minangkabau. Terbentuknya sebuah Nagari harus mengacu pada UU Pembentukan Nagari, bukan undang-undang dalam pengertian Ilmu Tata Negara. Tujuan yang ingin dicapai dengan UU Pembentukan Nagari adalah supaya ada kesamaan persepsi tentang Nagari di ketiga Luhak Minangkabau. Syarat berdirinya suatu Nagari meliputi: Nagari ba-ampek suku, Dalam suku babuah paruik, Kampuang nan ba Tuo, Rumah nan Batungganai.

Dengan persyaratan yang demikian, akhirnya Nagari merupakan satu-kesatuan masyarakat hukum adat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu dilengkapi dengan berbagai institusi berikut dengan berbagai tugas dan fungsinya masing-masing.

Kedua, ciri tanah sebagai simbol kekuasaan. Sebagai sebuah kawasan, Nagari erat kaitannya Tanah. Oleh karena itu eksistensi dan prestise sosial anak Nagari sangat erat kaitannya dengan tanah. Tanah adalah simbol dari eksistensi sosial dan keanggotaannya dalam komunitas Nagari. Memiliki tanah berarti menjadi anggota komunitas Nagari. Di Minangkabau. orang yang tidak memiliki tanah dapat dikategorikan sebagai orang yang bukan asli di Nagari yang bersangkutan.

Masyarakat Minangkabau adalah sebagai masyarakat komunal dan bukan bersifat individual, maka menurut hukum adat, tanah ulayat adalah kepunyaan bersama bukan kepunyaan pribadi yang disebut dengan hak ulayat masyarakat hukum adat.

Hak Ulayat, adalah hak penguasaan yang tertinggi atas tanah atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur masing-masing bersifat perdata, berupa kepunyaan bersama para Anak Nagari yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek-moyang mereka dan merupakan karunia Allah SWT sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat.

Sebagai sarana pendukung utama kehidupan dan penghidupan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, tanah ulayat bersama tersebut perlu dikelola dan diatur peruntukan, penguasaan dan penggunaannya, maka kewenangan pelaksanaannya sehari-hari dilimpahkan dan ditugaskan kepada ketua adat dan para tetua adatnya.

Pelimpahan ini dalam hak ulayat berwujud seperangkat tugas dan kewenangan tertentu, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga, yang disebut “orang luar”. Inilah yang merupakan unsur kedua hak ulayat yang terletak di bidang hukum publik.

Jenis jenis tanah ulayat dalam masyarakat hukum adat di Sumbar dikenal dengan sebutan ulayat kaum, ulayat suku, dan ulayat Nagari. Tanah ulayat sebagai kepunyaan bersama adalah harta tanah yang diwarisi secara turun-temurun dari Ninik Moyang dalam keadaan utuh dan diwariskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan utuh. Karena dimiliki secara bersama, maka tanah ulayat tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain, tidak boleh dijual dan tidak boleh digadaikan, tanah itupun tidak bisa diberikan secara cuma-cuma.

Tanah ulayat tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain karena tanah ulayat bukan saja milik generasi yang sekarang tetapi juga hak generasi yang akan datang, yaitu generasi yang belum lahir, perbuatan menjual, menggadaikan atau perbuatan hukum lainnya yang maksudnya adalah untuk memindahtangankan tanah ulayat kepada pihak lain berarti menghabiskan hak generasi yang akan datang. Dalam perspektif adat Minangkabau, tanah ulayat, termasuk pusako tinggi yang tidak dapat diperjual-belikan berlaku ungkapan “dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan patuik”. Kecuali untuk hal-hal: Rumah gadang katirisan/Gadih gadang indak balaki/Mayiek tabujua di tangah rumah/Adaik jo pusako indak tagak.

Ketiga, ciri budaya. Pemahaman harta kekayaan Nagari bagi masyarakat Minangkabau (Sumbar) mempunyai pengertian yang luas, karena kekayaan Nagari tidak saja berarti kekayaan berupa fisik tetapi juga non fisik, seperti permainan anak Nagari, kesenian anak Nagari bahkan perantau pun merupakan sumber kekayaan bagi Nagari yang bersangkutan. Harta kekayaan Nagari secara makro lebih disikapi sebagai harta yang dapat dijadikan sebagai sumber peningkatan keuangan Nagari dan kesejahteraan anak Nagari. Pengertian yang terkandung dalam hal ini adalah: pertama harta kekayaan Nagari dimaksud merupakan harta yang fungsi dan pemanfaatannya diarahkan oleh Pemerintahan Nagari; kedua, harta kekayaan Nagari yang dikuasai dan dimanfaatkan secara kolektif oleh fungsional adat. Bila lebih dicermati tentang harta kekayaan Nagari ini lebih didominasi pada harta kekayaan kolektif kaum atau suku, sedangkan bagian yang dikuasai oleh Nagari adalah bagian-bagian untuk kepentingan umum yang diterima secara turun temurun, hibah ataupun dalam bentuk lainnya yang dikelola dan dimanfaatkan oleh anak Nagari.

Apa yang penting dari ciri-ciri yang diangkat itu, yakni sebagai potensi ketika Pemerintahan Nagari dhadapkan pada berbagai persoalan di tengah-tengah masyarakat yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat di Sumatera Barat. Ciri-ciri dimaksud menjadi sangat penting sebagai acuan berupa potensi untuk pengembangan, tetapi juga sekaligus merupakan rambu-rambu yang dapat menuntun pada pemecahan masalah. Pada konteks kertas kerja ini persoalan yang akan kita coba bahas ialah menyangkut peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui Pemerintahan Nagari.***

Sumber : Padang Ekspres

Ninik Mamak Intelektual

Oleh Marthias D Pandoe, Wartawan Senior .

KALAU ada gelar penghulu yang sudah lamo talatak, pusako lamo nan talipek, mati batungkek budi atau pun iduik bakarilahan, maka apabila kondisi dan situasi sudah mengizinkan, diangkat penggantinya. Calon dipilih secara demokratis oleh seluruh anak buah yang akil-baligh lelaki-perempuan di bawah payung panji beliau.

Talipek, karena payung panjinya sudah lama wafat. namun belum ada tampak pengganti yang patut, atau belum punya biaya untuk alek malewakan dimuka masyarakat luas, di medan nan balindung atau di medan nan bapaneh.

Iduik bakarilahan, artinya penjabat lama masih hidup, tetapi sudah uzur fisik dan pikirannya. Tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai pengulu, tidak bisa ikut rapat-rapat di balairung, untuk menyumbangkan pikiran memecahkan berbagai masalah adat yang timbul dalam negari. Dan tidak dapat pula hadir dalam sidang-sidang rutin Kerapatan Adat Nagari (KAN).

Akhir-akhir ini atau sudah sejak lama terjadi kecenderungan di negeri kita, penghulu-ninikmamak yang diangkat berasal dari orang-orang ternama, lebih-lebih yang memegang posisi di berbagai lembaga pemerintah, perguruan tinggi atau pengusaha sukses, kendati nyaris tidak sering berada di tengah-tengah anak kemenakan. Malah ada yang diangkat mereka yang sudah pensiun berusia sekitar 60 tahun yang berarti tidak melakukan peremajaan di kalangan pemangku adat.

Maaf, akibat lama merantau maka diantara calon-calon tersebut banyak yang tak mengetahui siapa siapa saja kemenakan yang akan dipayunginya baik yang menghuni kampung maupun yang berpencar di rantau .Tidak tahu pula dia siapa rang sumando dan kerabat lainnya. Maaf lagi, sebagian calon penghulu, tidak mendalami seluk beluk adat Minangkabau. Paling-paling cuma mengetahui kulit luar saja.

Menurut prosedur normal calon untuk jadi pemimpin kaum itu dirundingkan masak-masak, dicaliak suok-kida siapa yang patut dan mungkin. Ada yang mungkin, tapi tidak patut, atau ada yang patut, tapi tidak mungkin. Meski begitu, ada saja yang berambisi merebut kedudukan terhormat ini tapi sebaliknya ada pula yang menolak dan takut karena beban tanggung jawab-nya cukup besar.dunia akhirat.

Pribadi calon harus mencerminkan nilai-nilai moral, berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia. Punya sikap sopan-santun dan bertutur halus. Karena adat basandi Kitabullah (agama), beliau wajib mengetahui mana yang haram dan mana yang halal, mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar. Sjara’ mangato, adat mamakai. Aturan atau ajaran agama dibawa ke dalam adat. Beliau tidak jadi pemimpin anak buah di bawah payungnya saja, tapi juga secara otomatis berperan sebagai pemimpin masyarakat.

Beliau duduak samo randah tagak samo tinggi bersama rekan-rekan sesama penghulu. Beliau ditinggikan serantiang dan didahulukan selangkah. Artinya tidak jauh dari anak kemenakan yang beliau pimpin. Hanya selangkah saja di depan atau seranting saja di atas. Beliau dihormati, datang bajapuik, pulang baantakan.

Beliau tinggi tampak jauh, gadang jolong basuo. Dianjuang tinggi, diambak gadang. Kayu gadang di tangah padang. daunnyo untuak balinduang, batang tampaik basanda, urek tampaik baselo. Tampaik mangadu sasak-sampik, biang nan ka manabuak, gantiang nan kamamutuih. Memelihara anak kemenakan, kok malam badanga-dangakan, siang baliek-like, kusuik nan kamanyalasaikan, karuah nan kapajaniah. Seandainya ada anak-kemenakan dilamar orang, beliau tempat baiyo-batido. Jika ada yang akan menggadaikan harta untuk sesuatu keperluan yang sangat mendesak, diminta persetujuan beliau.

Apakah beliau yang dipilih dari kalangan intelektual yang selama ini merantau dan jauh dari lingkungan ranah bundo, memahami tugas dan kewajiban sebagai seorang penghulu? Anak-kemenakan justru membanggakan dan malagakkan penghulunya seorang cendikiawan bergelar akademik profesor, doktor dan sarjana lainnya jebolan perguruan tinggi. Tapi ini agaknya kebanggaan semu atau kebanggaan sesaat !

Celakanya beliau berada di tengah-tengah anak-kemenakan yang dikumpulkan hanya sebentar saja. sehari usai alek malewakan gelar datuknya yang membantai seekor kerbau.. Namun tidak menginvetarisir satu-persatu anak kemenakan. Tidak menanyakan siapa ibu-bapaknya, dimana sekolahnya, berapa usianya.Apakah sepupunya atau pun kemenakan jauh atau dekat. Banyak pula di rantau yang sudah kehilangan jatidiri dan tidak tahu sasok jaraminyo. Walau benar-benar kerabat dekat tapi satu sama lain merasa asing karena baru pertama kali duduak basamo. Tidak mengetahui pula rang sumando yang mengawini kemenakannya.

Akibat lama merantau beliau tidak mengetahui lagi harato pusako tinggi, untuk diwariskan turun-temurun, tidak tahu dima pandam pakuburan kaumnyo, dima tunggua panabangannyo, dima sawah nan bapimatang, dima ladang nan bibintalak. Kesempatan pertemuan itu cuma ajang perpisahan karena pengulu baru ini tagageh baliak ke rantau, mancari paruik nan indak barisi, pungguang nan indak basaok. Untung beliau masih mempunyai etiket pamit: Pulang tampak muko, pai tampak pungguang.

Hanya satu kali menginjak balairung adat waktu gelarnya dilewakan di medan nan balinduang. Ketika disambah dalam pidato adat, beliau ngangak-ngangak-i. Tak bisa membalas sambah.yang dititahkan kepadanya, apakah disini asal kata ninik-mamak menjadi ninik-ngangak ?

Dia kembali ke rantau, diiringi layuanyo gaba-gaba daun karambie. dan turunnya marawa.tiga warna, hitam lambang ninikmamak, merah lambang ulama, dan kuning lambang cadiakpandai. Tigo tungku sajarangan dalam unsur kepemimpinan tradisional Minangkabau. Tenda pamedanan untuk baralek pun sudah dibuka, dandang dan pecah-belah yang dipinjam telah dikembalikan kepada pemiliknya.

Di tungku api pun sudah padam dan puntung telah hanyut. Singkek permintaan, akhirnya beliau mangkat di rantau. Tanah rantau meminta jasadnya. Juaro indak ka pulang lai. Pitih lah kisai membiayai perhelatan. Pitih abih, tapi ndak mambao..

Bisakah ditarik pengalaman ini untuk mengangkat pengulu baru?.(*)

Sumber: Padang Ekspres

Eksistensi Ulama dan Pengulu

Oleh Duski Samad, Dosen Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang.

Setelah mengikuti Kongres Kebudayaan dan Apresiasi Seni Budaya Minangkabau yang diselenggarakan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Pemprov Sumbar, di Inna Muara, 29-30 November 2006 lalu, ada sesuatu yang masih menggelitik untuk disampaikan.

Helat budaya yang cukup bergengsi dan diikuti oleh berbagai elemen penting anak nagari, tidak saja menampilkan sosok ragam budaya alam minangkabau, akan tetapi juga memberikan ruang kepada budayawan, pakar, pemerhati, praktisi dan tokoh-tokoh adat, ulama dan anak nagari untuk untuk menuangkan gagasan, pikiran, kritikan, apresiasi yang keselurahannya tentu dimaksudkan untuk memberikan penguatan pada agama, adat dan budaya Minangkabau.

Kesan bahwa ulama, ninik mamak, adat dan agama seolah-olah terpinggirkan dalam sistim hidup bermasyarakat dan bernegara akhir-akhir ini terasa kuat di alam pikiran peserta kongres. Pada diskusi panel kelompok C yang membahas tentang agama dan budaya dalam amatan berbagai kelompok masyarakat, terlihat sekali ada beban berat yang dipikul oleh sebahagian penghulu dan alim ulama, khususnya ketika pemakalah berbicara bahwa kini penghulu dan ulama terpinggirkan.

Diskusi yang dipandu oleh budayawan Darman Moenir yang cukup cerdas mengunggah peserta berfikir kritis, menampilkan dua pemakalah satu dari rantau pesisir Ulakan Pariaman dan satu lagi dari luhak nan bungsu 50 Kota. Kedua pemakalah yang memang praktisi adat dan menyandang gelar adat itu dengan suara meyakinkan mengatakan bahwa kini, memang penghulu dan ulama sebagai unsur penting dalam adat terpinggirkan dalam sistim hidup bernegara dan bermasyarakat. Salah seorang pemakalah dengan ringan menumpahkan ketidakpuasaannya dengan membuat beberapa ilustrasi yang mencerminkan begitu terpinggirkannya peran ninik mamak dan alim ulama. Ada hal yang sangat sulit dipahami lagi, sang ninik mamak kita itu berbicara bahwa penjajah saja dulu memberikan penghargaan yang memadai pada ninik mamak dan alim ulama, contohnya, ninik mamak dan alim ulama tidak dipungut bayaran bila naik kereta api, atau ketika ada acara adat pemerintah Belanda membantunya.

Bahasan tentang terpinggirkannya ninik mamak dan alim ulama yang diangkat dalam sesi pagi itu ternyata mendatangkan apresiasi yang berbeda. Unsur kaum tua—generasi berumur lebih lanjut (tua)—yang umumnya pemuka adat (penghulu), alim ulama, dan budayawan senior tampaknya sepakat dengan pemakalah. Melalui ragam petatih-petitih dan bahasa adat dapat ditarik benang merah pemikiran mereka bahwa ninik mamak, alim ulama dan unsur adat betul-betul terpinggirkan. Dipihak generasi muda yang direpresentasikan oleh beberapa penanya mempertanyakan bentuk, model dan pola pewarisan adat yang seperti apa yang telah, sedang dan akan diberikan oleh ninik mamak, alim ulama dan tokoh adat kepada kami generasi Minangkabau masa datang?

Penanya kelompok ketiga adalah generasi tengah—tuo alun, mudo talampaui—yang umumnya generasi Minang terdidik dengan profesi mapan. Kesan yang ditangkap dari komentar dan pertanyaannya, mereka semua masih memiliki rasa optimisme bersamaan dengan pikiran kritis mereka mengajukan beberapa argumen yang kiranya patut dianalisis.

Penanya mencermati jalan sejarah Minangkabau, dapat dikatakan sejak awalnya adat dan budaya Minangkabau memang hidup dalam dialektika budaya kompetitif dan generasi masa lalu dapat memenangkan pertandingan itu. Sejarah mencatat sejak awal, alam Minangkabau yang seratus persen dapat membumikan sistim adat dan agama seperti yang ada dalam falsafah itu mungkin hanya utopia (mimpi). Yang pasti, sejak penjajah; zaman merdeka, orde lama, orde baru dan kini orde reformasi ninik mamak dan alien ulaina adalah diposisikan sebagai tokoh informal. Artinya sistim dan struktur negara belum pernah masuk secara utuh kedalam sistim adat. Kalaupun ada Ninik Mamak yang jadi Regent, Gubernur, Bupati, Camat dan Wali Nagari akan tetapi dalam peiaksanaan tugasnya tetap saja ia berpedoman kepada sistim dan undang-undang yang ditetapkan Negara RI. Ini dapat dijadikan indikasi bahwa sejak lama di ranah bundo ini tetap berjalan dua kekuasaan secara parallel, Negara sebagai pemegang kekuasaan formal, penghulu dan ulama sebagai pemegang kekuasaan kultural.

Berfikir paralel (structural dan cultural) tentunya akan membuat dua pemegang kedaulatan (power) ini bisa lebih arif dalam memposisikan peran dan fungsinya. Penghulu, Ulama dan Tokoh Formal—pejabat perintah—sebenarnya adalah individu-individu yang sama-sama anak nagari, yang sama-sama cinta pada budaya dan nenek moyangnya, namun kedudukan dan fungsi menjadikan mereka berbeda dalam bersikap. Keberbedaan dan ketidaksesuaian dalam kebijakan dan prilaku politik yang seyogyanya dapat diminimalisir ketika mereka memerankan diri dengan jujur, ikhlas dan bertanggung jawab.

Kembali kepada diskursus ulama dan ninik mamak dipinggirkan atau meminggirkan diri. Kaum muda terdidik Minangkabau hampir sama nadanya. Kompetisi yang semangkin sengit dan sempit ini pasti memerlukan energi lebih. Mental orang menang, prilaku kemandirian tidak merasa tamu di rumah sendiri, jujur, ikhlas dan bermartabat adalah sifat-sifat yang harus dipunyai ninik mamak dan alim ulama modern jika ingin survive diera global ini. Menjauhi berfikir aji mumpu, bermental calo -lebih parah lagi calo politik, mengedepankan tangan di bawah adalah virus mematikan dan meminggirkan peran seorang tokoh.

Akhirnya, diskusi ini ditutup oleh moderator tanpa niat menyimpulkan, karena setiap orang membawa kesimpulan yang berbeda. Sangat meyakinkan ungkapan seorang peserta dari Agam, ninik mamak dan alim ulama tidak akan pernah terpinggirkan ketika ia hadir dengan jati dirinya dan berperan sesuai dengan semangat zaman. ***

Sumber: Padang Ekspres

Keindahan Songket Tua Minangkabau

Saat ini, ketika orang di Jakarta berbicara mengenai songket, umumnya yang akan muncul adalah songket dari Palembang. Mungkin karena Palembang memiliki artisan dan pedagang songket yang giat mempromosikan songket daerah itu di Ibu Kota.

Karena itu, pameran Revitalisasi Songket Minangkabau di Galeri Cemara 6 di Jalan HOS Cokroaminoto, Jakarta, yang berlangsung sampai Kamis (23/11) membangkitkan rasa ingin tahu tentang perkembangan songket dari sana. Apa lagi pameran mengangkat tema revitalisasi, artinya ada sesuatu yang dibangkitkan kembali. Sayangnya, Ny Mufidah Jusuf Kalla batal membuka pameran pada Kamis (16/11) malam.

Keingintahuan itu terjawab ketika menyaksikan puluhan songket tua berusia 100-an tahun berdampingan dengan songket lama yang direproduksi.

Inilah hasil kerja tim Studio Erika Rianti yang terdiri dari Bernhard Bart, arsitek asal Swiss, yang menaruh minat pada kain tradisi; Erika Dubler, istri Bart; Nina Rianti, seniman Minang dan suaminya, Alda Wimar; dan Nanda Wirawan, pemimpin studio ini.

Mereka memulai dengan mendokumentasi motif kuno yang masih tersisa di Minangkabau dan di berbagai museum, antara lain di Museum der Kulturen Basel dan Historisches Museum Bern di Swiss selain Museum Adityawarman di Padang, serta di toko barang antik.

Ketika jumlah koleksi foto kain songket kuno mencapai ribuan, Nina memunculkan gagasan menenun ulang songket tersebut. Masalahnya, seperti yang tampak di ruang pamer Cemara 6, motif kuno itu indah, sangat rumit, halus, bersih, dan rapi bahkan pada bagian belakang kain. Kain-kain berbenang sutra dan emas itu tampak anggun dengan tepian dihias rajut tangan atau meriah oleh rumbai.

Revitalisasi

Upaya merevitalisasi songket itu berangkat dari kenyataan, kini hampir tidak ada lagi songket Minangkabau yang kualitasnya menyamai songket pada masa lebih dari 100-an tahun lalu. Kebutuhan melayani pasar menyebabkan perajin membuat motif sederhana.

Pembuatan songket dengan motif halus dan rumit tidak lagi dikerjakan karena waktu pembuatannya lama, sulit, dan terbatas acuan pada teknik pembuatan motif lama.

Menenun sehelai selendang, menurut Reno (17), penenun yang didatangkan ke Cemara 6 bersama alat tenunnya, butuh waktu tiga bulan, sementara kain panjang bisa enam bulan.

Padahal, songket untuk masyarakat Minang bukan sekadar barang pakai. Seperti umumnya pada masyarakat Asia, kain menceritakan filosofi hidup. Motif pucuak rabuang (pucuk rebung), menyiratkan waktu muda sudah berguna apalagi ketika dewasa; motif kaluak paku (lekuk pucuk pakis) menggambarkan sebelum mengoreksi kesalahan orang harus melihat ke dalam diri sendiri; atau motif itiak pulang patang (itik pulang petang) yang distilisasi, menggambarkan kehidupan perantau Minang yang merantau karena kesulitan hidup di kampung halaman, tetapi akan mudik bersama seraya membawa pulang peruntungan di perantauan.

Cermin

Berbeda dari anggapan kebanyakan orang awam saat ini bahwa gudangnya tenun Minang adalah Pandai Sikek, kain-kain tua itu memperlihatkan Nagari Kotogadang di Agam adalah penghasil utama songket indah dan cerdas pada masa lalu. Daerah lain penghasil songket berkualitas, antara lain Nagari Tanjung, Kecamatan Sungayang (Tanah Datar), Padangmagek, dan Muarolabuah.

”Sekarang tidak ada lagi yang menenun di Kotogadang. Mungkin karena kota itu dua kali terbakar. Terakhir tahun 1880,” ujar Alda Wimar dan Nina Rianti. ”Alat tenun habis, penenun tidak punya modal lagi.”

Dapat dikatakan, perkembangan songket Minang adalah cermin perubahan masyarakat yang semakin terbuka pada pasar. Keluhan semacam ini bukan hanya pada songket Minang.

Batik juga mengalami kesulitan dalam regenerasi yang dapat membatik sehalus pembatik pada awal abad lalu. Upah yang tidak setara dengan curahan tenaga kerja menyebabkan regenerasi itu berjalan seret. Padahal, batik dianggap ikon seni budaya Indonesia.

Dan kini, ada upaya revitalisasi kejayaan songket Minang yang dilakukan sepenuhnya oleh anggota masyarakat. Ada baiknya masyarakat Minang dan Indonesia mencontoh upaya ini. (Ninuk Mardiana Pambudy)

Sumber: Kompas

Halal Bihalal Kotogadang 1428 H

Halal Bihalal Warga dan Pencinta Kotogadang 1428 H

Insya Allah akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal : Minggu, 21 Oktober 2007
Waktu : 10:00 – 14:00
Tempat : Auditorium Gedung Departemen Pekerjaan Umum
Jl. Patimura No. 20, Jakarta Selatan

Busana khas Kotogadang

* Urang Gaek : baju kurung-kain jawo-selendang
* Pasangan mudo : baju kurung-selendang suji, sarawa jawo-baju cino-sarung bugis merah
* Anak bujang : baju cino-sarawa jawo-sarung batik
* Anak gadih : baju kurung-kain panjang-selendang.