Category Archives: Tokoh

Tokoh

Datuk Malekewi

Pada tanggal 28 November telah dilangsungkan Acara Bakampuangan Ketek di Rumah Gadang Kaum Datuk Malekewi Suku Guci-Piliang Kanagarian Kotogadang jo Sudisiasek e Aditiawarman Bagindo Malekewi tanggal 1 Desember 2013 di Balai Adat Kanagarian Kotogadang.

Foto diatas diambil pada saat penyerahan SK Ninik Mamak Panghulu Nan XXIV tanggal 1 Desember 2013 di Balai Adat Kanagarian Kotogadang yang berisikan persetujuan untuk e. Aditiawarman Bagindo Malekewi manyaruangkan baju kebasaran Datuak Malekewi dari Pasukuan Guci-Piliang Kanagarian Kotogadang.

Insya Allah Acara Bakampuangan Gadang jo Alek Nagari akan dilaksanakan pada tanggal 20 dan 22 Juni 2014 di Rumah Gadang Kaum Datuk Malekewi Suku Guci-Piliang Kanagarian Kotogadang.

Penulis : Mastrialdi (Dedi) Sutan Maruhun diAtjeh

Salam dari Urang Dapua….

Ass Wr Wb para dunsanak sekalain,

Pada kesempatan ini perkenankan Kami untuk menyampaikan kaba tentang perubahan dari web site kita ini. Kami berusaha menampilkan pembaharuan dan penyegaran terhadap layout maupun isi dari pada web site ini.

Perlu Kami sampaikan bahwa website Kotogadang ini sekarang bisa diakses oleh umum maupun diakses oleh member. Adapun perbedaannya adalah, pada akses member terdapat informasi-informasi yang hanya bisa dilihat oleh member dan tidak bisa dilihat oleh umum. Demikian juga hanya member yang dapat melakukan posting berita ke redaksi website ini untuk selanjutnya di approve, di edit atau di tolak untuk ditampilkan di halaman website ini.  Redaksi juga akan menentukan apakah berita yang dikirimkan tersebut cukup menjadi konsumsi member atau konsumsi umum.

Adapun untuk dunsanak yang akan menjadi member, bisa me-klik icon “Pendaftaran” di bagian atas atau icon “Register” yang terdapat di bagian kotak log in. Harap mengisi seluruh item yang disiapkan dalam form pendaftaran tersebut agar memudahkan redaksi melakukan proses approval.

Untuk selanjutnya, Kami dari redaksi website Kotogadang-pusako ini mengharapkan masukkan dan kritikan dari para dunsanak semua dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan website ini.

Kritik dan saran bisa dengan mengisi comment dibawah ini atau mengirimkan email ke mastrialdi@gmail.com dengan menyebutkan subject “Website Kotogadang-pusako”.

Dengan segala kerendahan hati, kami redaksi website Kotogadang-pusako ini memohon maaf yang sebesar-besarnya kalau dalam penyajian masih terdapat hal-hal yang kurang berkenan di hati dunsanak sekalian.

Wassalam,

Mastrialdi (Dedi) Sutan Maruhun Diatjeh

Haji Baroen bin Ja’koeb Pendiri surau pengajian pertama dan terakhir di Kotogadang?

oleh : A. Ikhdan Nizar St Diateh
Dengan surat bertanggal 3 Mei 2007, e.A.R Dt Tan Muhammad selaku Ketua Panitia Pembangunan Mesjid Tapi dan Rehabilitasi Instalasi Air Bersih (PPMTRIAB) Kotogadang menulis surat kepada uniang saya, rky. Erna E. Alzahir. Dalam surat itu, dalam rangka membangun kembali mesjid Tapi yang roboh karena gempa Maret 2007 yang lalu, diminta kesediaan memberi izin memindahkan makam yang ada dihalaman mesjid. Permintaan ini diajukan kepada uniang Erna karena dia adalah keluarga dari almarhum yang dikuburkan di makam itu. Surat itu dibalasnya dengan isi mengingatkan agar PPMTRIAB menelusurilah terlebih dahulu siapa yang berkubur ditempat yang diakui sebagai halaman mesjid itu dan siapa kaum keluarganya. Disamping itu jelaskan pulalah duduk tegaknya pemilik tanah.tempat pusaro itu berada sebelum memutuskan menggusur pusaro itu.

Hal ini menyadarkan saya betapa keinginan menjadikan nagari awak tu sebagai cagar budaya dengan istilah Kotogadang Pusako, atau lebih gagahnya lagi heritage village, perlu pemahaman dan dukungan semua warga Kotogadang.

Pusaro yang dimaksud oleh Ketua PPMTRIAB itu adalah pusaro almarhum Haji Baroen, suku Sikumbang ak. Dt Rajo Naando. Saya akan mencoba menuliskan siapa beliau dan kenapa pusaro beliau disitu.

Beliau adalah salah satu dari enam bersaudara anak tuo Djairah, suku Sikumbang ak Dt Rajo Naando. Saudara-saudaranya adalah tuo Azizah, tuo Hadisah, tuo Muzuna, tuo Latifah dan inyik Halim Dt Radjo Naando. Pada awal abad ke -20 beliau pergi ke Mekah untuk belajar mengaji. Sesudah lebih kurang empat tahun beliau disana belum ada tanda-tanda kapan akan pulang. Maka ditulislah surat oleh keluarganya yang meminta beliau untuk segera pulang karena biainya sakit-sakitan. Ini sebetulnya hanya taktik untuk mengakali agar beliau mau pulang. Ibunda beliau dan semua sanak saudara di kampung khawatir beliau kawin di Mekah dan tidak pernah pulang lagi. Mungkin karena ingat akan Syekh Ahmad Khatib, yang babako ka Kotogadang, cucu Tuanku Nan Renceh ulama kaum Paderi, yang pergi belajar ke Mekah lalu tidak pernah pulang lagi. Syekh Ahmad Khatib ini ahli fikih dan hukum Islam dan mencapai kedudukan Imam Besar Masjidilharam dalam Mazhab Syafi’i. Beliau menikah dengan puteri gurunya Syekh Saleh Kurdi dan tidak pernah lagi pulang ke Indonesia.

Ketika Haji Baroen pulang ke Kotogadang, ternyata ibunda beliau sehat wal afiat saja. Kemudian beliau dikawinkan dengan seorang gadis suku Piliang ak. Dt Kayo bernama Fatoemah. Inyik Haji Baroen pada waktu itu berusia menjelang 30 tahun.
Entah apa pertimbangannya beliau tidak kembali lagi ke Mekah melanjutkan pelajarannya. Mungkin karena masalah jauh dan biaya, mungkin pula karena ilmu yang diperolehnya dianggap sudah memadai, akan tetapi lebih mungkin lagi karena tidak diizinkan oleh kaum keluarga.

Beliau mempunyai putera 6 orang, yang tertua adalah Mazia, mama saya. Oleh karena itu kepada isteri beliau Fatoemah kami menyebutnya tuo, walaupun kemudian hampir seluruh orang di Kotogadang, generasi saya, menyebutnya tuo umi. Kepada beliau Haji Baroen kami disuruh menyebut inyik buya. Ini karena kami cucu-cucu beliau tidak ada yang sempat bertemu dengan beliau, kalau bertemu tentunya kami akan menyebut beliau inyik saja.

Karena beliau tidak lagi kembali ke tanah suci Mekah, maka beliau membuka surau pengajian di Kotogadang. Surau pengajian ini memberikan pelajaran serupa pengajian di Mekah, pesantren tradisional di Jawapun memakai cara seperti itu, tidak ada kelas-kelas. Semua murid duduk dilantai mengelilingi gurunya.

Surau inyik buya ini dibangun di tanah kaumnya yang bersebelahan dengan mesjid Tapi. Surau ini dibangun oleh isteri beliau dan ipar2 beliau suku Piliang ak. Dt Kayo. Saya mendengar dari e. P.R. Zakir St Mangkuto, bahwa ibunya yang kemanakan langsung inyik buya pernah berkata: “ Surau tu dibangun di tanah awak”. Menurut pendapat saya pesan beliau: “walaupun surau dibangun orang Piliang, tanahnya itu milik kita orang Sikumbang Dt Radjo Naando”.

Menurut mamak saya M. Amin Pamuncak Marajo, anak kandung inyik buya, pada waktu itu murid yang belajar mengaji ke surau inyik buya sangat banyak. Namanya murid-murid beliau itu mengaji, akan tetapi bukan belajar membaca Al-Quran, yang dimaksud adalah belajar ilmu keislaman yang lebih dalam. Murid yang banyak itu sebahagian besar berasal dari luar Kotogadang, bahkan ada yang dari daerah yang jauh seperti Aceh dan Tapanuli. Murid-murid mengaji itu, (sekarang lebih dikenal dengan istilah santri, suatu istilah dari Jawa ) mengurus diri sendiri, seperti memasak, mencuci pakaian dsbnya. Ketika muridnya makin banyak, sehingga tidak tertampung lagi di surau beliau, maka murid2 itu tidur di surau Lakuak dan surau Mudiak. Ketika kemudian murid2 itu semakin bertambah banyak juga, maka isteri beliau membangunkan surau yang disebut surau Gadang di tanahnya di sawahan. Sekarang surau Gadang itu sudah tidak ada lagi, disitu dibangun gilingan padi pada tahun 40-an oleh e. M. Jasin Dt Kayo. Sekarang gilingan padi itu diteruskan oleh mamak saya M. Amin Pamuncak Maharajo.

Inyik buya ini usianya tidak panjang, beliau meninggal pada tahun 1923 pada usia sekitar 39 tahun. Jadi surau pengajian beliau hanya berlangsung sekitar 10 tahun. Tidak diketahui apakah ada murid beliau yang berasal dari Kotogadang, sehingga tidak banyak diketahui apa ilmu yang diajarkan beliau sehingga muridnya banyak, bahkan berasal dari daerah yang jauh. Karena itu justru menjadi menarik untuk dibahas.

Tidak ada satu sumberpun yang bisa menyatakan apakah inyik Haji Baroen pernah belajar kepada Syech Ahmad Khatib. Menurut Ensiklopedi Islam terbitan PT Ichtiar Baru van Hoeve, Syekh Ahmad Khatib (1855-1916) walaupun bermukim sampai akhir hayatnya di Mekah, beliau tetap punya perhatian besar terhadap murid-murid yang berasal dari Minangkabau dan Indonesia. Murid-muridnya dari Minangkabau antara lain Syekh Jamil Jambek (inyik Jambek), Syekh Ibrahim Musa (inyik Parabek), Syekh Sulaiman ar-Rasuli (inyik Canduang), Dr H. Karim Amrullah (ayah buya HAMKA).. Kemungkinan besar salah satu dari guru inyik buya adalah Syekh Ahmad Khatib ini.
Syekh Ahmad Khatib melihat dua hal di Minangkabau yang sangat bertentangan dengan Islam, yang pertama masalah garis keturunan matrilineal dan kedua masalah tarekat naqsyabandiah. Pembagian harta kepada kemanakan dianggapnya harta rampasan, sedangkan tarekat dipermasalahkannya dasar syariahnya. Soal harta ini, kaum adat menjawab dengan membedakan pusaka tinggi yang berupa harta kaum diwarisi oleh kemanakan dan pusaka rendah yang berupa hasil pencarian, diwariskan sesuai hukum Islam.

Masalah tarekat yang menarik adalah tulisan Prof. DR Azyumardi Azra, mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah di Harian Republika 21 Juni 2007.
Saya kutipkan sebahagian sbb:
“Sebahagian kalangan Muslim sering meremehkan kekuatan dan keberlangsungan tasawuf. Tasawuf yang sering diamalkan dalam kerangka ‘organisasi’ yang dikenal sebagai ‘tarekat’ bagi kalangan ini, lebih banyak dianggap sebagai sumber bid’ah dan khurafat, yang berpusat pada pemujaan terhadap syekh-syekh tarekat”
“Memang pengamalan tasawuf sering mengandung ekses-ekses tertentu. Boleh jadi hal itu terlihat dalam bentuk ibadah dan amalan lainnya yang cenderung eksesif, ekstravagan dan berbunga-bunga. Atau, pemujaan yang sangat berlebihan kepada syekh sufi ….”
“ … karena tasawuf dan tarekat punya dinamika internal untuk memperbaharui dirinya agar lebih sesuai dengan syariah; pendekatan dan rekonsiliasi tasawuf dengan syariah bahkan menjadi gejala historis yang berkelanjut.”

Ketika inyik buya meninggal, tahun 1923, tidak diketahui apa pertimbangan keluarga pada waktu itu, beliau dimakamkan di halaman suraunya. Walaupun tanahnya milik kaumnya juga, pandam pekuburan kaum Sikumbang Dt Rajo Naando sebetulnya tidak jauh, berada disebelah Surau Gadang.

Saya tidak mau mengatakan bahwa yang diajarkan oleh inyik buya adalah tasawuf, karena tidak ada muridnya yang diketahui untuk dimintai keterangan, begitu pula tidak ada keterangan tertulis yang bisa mendukung. Ketika beliau meninggal, mama sebagai anaknya yang tertua baru berusia 8 tahun.

Ada beberapa cerita yang menarik yang diceritakan dari mulut kemulut sesudah inyik buya meninggal.

Pada hari beliau meninggal ada orang mau datang manjanguak kerumah biainya, kemudian tidak jadi naik kerumah karena melihat banyak orang (laki-laki) berjubah dan sorban serba putih yang memenuhi rumah sampai ke pintu, duduk serupa orang melayat. Ketika kemudian ditanyakan kepada isi rumah, ternyata yang dirumah tidak mengetahui ataupun melihat orang-orang serba putih itu..

Ketika mayat beliau yang sudah dikafani diturunkan ke liang kubur, yang manjawek atau yang menyambut didalam kubur hanya dua orang, yaitu engku guru Sukan dan engku Kahat. Hal ini karena inyik buya badannya kecil sehingga cukup dua orang saja yang menyambut jenazah beliau.
Ketika diterima ternyata bungkusan itu ringan sekali. Ketika buhul ikatan kafan dibuka rupanya kosong, tidak ada mayat didalamnya. Walaupun begitu deletakkan juga dalam liang lahat lalu ditimbun.

Versi lain lagi, ketika akan diletakkan dalam liang lahat mendadak menjadi ringan dan seperti ada kilat yang menembak keatas yang hanya dirasakan oleh orang yang dua orang itu. Katanya ada orang di Koto Tuo yang waktu itu melihat seperti kilat yang keluar dari bumi dan menembak kearah langit, terjadinya seperti di Kotogadang.

Kedua orang ini bersepakat agar tidal diceritakan kepada orang lain, agar kuburan ini tidak dikeramatkan. Kalau sempat dikeramatkan tentu akan sangat banyak orang berziarah ke Kotogadang yang tentu akan merepotkan kampung juga.

Cerita-cerita ini beberapa tahun kemudian keluar juga dan itu mungkin ada beberapa versi. Apakah benar atau tidak tentu tidak bisa lagi dibuktikan. Wallahu ‘alam.

Ada hal lain yang menarik lagi untuk dibahas mengenai satu-satunya suarau pengajian yang pernah ada di Kotogadang ini.

Dalam buku ‘Tuanku Rao” karangan M.O. Parlindungan disebut bahwa Kotogadang adalah desa yang dibangun Belanda untuk melawan kaum Paderi. Jelas ini tidak benar, karena ranji yang ada di masing-masing kaum pasti bisa menunjukkan bahwa jauh sebelum perang Paderi, Kotogadang sudah ada.

Dalam buku “Sumatera Barat, Plakat Panjang” yang ditulis Rusli Amran, pada halaman 173 diceritakan kenapa Kotogadang lebih dahulu maju dibandingkan nagari atau kampung-kampung lain. Ketika komandan militer Belanda di Sumatera Barat, De Steurs, berada dalam kejaran kaum Paderi seorang dari Kotogadang membantunya menyelamatkan diri. Sebagai balas budi dikemudian hari warga Kotogadang diberi kesempatan untuk mendapat pendidikan dan kemudian untuk menjadi pegawai Belanda. Warga Kotogadang memanfaatkan peluang ini dengan baik.

Tulisan tulisan diatas tidak bisa dibuktikan kebenarannya seratus persen, akan tetapi tulisan itu mengindikasikan bahwa dalam pertentangan kaum ulama yang didominasi penganut paham Wahabi dan kaum adat yang melahirkan perang Paderi, orang Kotogadang berpihak kepada kaum adat, sekurang-kurangnya bersimpati kepada kaum adat.

Akan tetapi hal ini bisa terbantahkan oleh kenyataan seorang bernama Abdul Latif berasal dari Kotogadang menjadi menantu Tuanku Nan Renceh, seorang ulama Paderi terkemuka, dan anaknya adalah Syekh Ahmad Khatib yang sangat kritis terhadap adat Minangkabau.
Disisi lain, di Kotogadang hampir tidak ada rumah bagonjong. Kalau dilihat kampung ini dibangun dengan tata planologi yang baik. Rumah-rumah terkelompok dengan baik, jalan menuju ke rumah-rumah itu jelas dan lebar. Tidak ada jalan menuju sebuah rumah yang perlu lewat disamping dapur orang lain, atau menyelip diemper rumah lain. Hal seperti ini banyak ditemui di kampng-kampung lain, akan tetapi tidak di Kotogadang.
Walaupun ini mencerminkan bahwa Kotogadang yang sekarang ini adalah kampung yang baru, model rumahpun ada kesan model Eropa, akan tetapi kebutuhan acara adat tetap terjaga. Semua rumah punya ruang tengah rumah yang panjang dan luas. Ini jelas untuk mengakomodasi kebutuhan acara-acara adat.

Kalau masing-masing kaum memeriksa ranji keluarganya, saya yakin akan menemukan bahwa semenjak pertengahan abad ke 19 banyak yang menjadi pegawai, baik itu jaksa, penjaga gudang hasil bumi (angku pakuih), guru, mantri hewan dan belakangan awal abad ke 20 dokter, sarjana hukum dan sebagainya. Walaupun begitu, apabila diperiksa ke generasi yang lebih awal, sebelum perang Bonjol, pasti diketemukan juga yang ber predikat haji. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya Kotogadang bukan sepenuhnya berpihak kepada kaum adat pada waktu perang Paderi. Terlebih lagi bila jika diingat menunai ibadah haji pada masa itu bukan sesuatu yang mudah dan murah.
Surau pengajian inyik Haji Baroen menunjukkan bahwa pada awal abad ke 20 dimana warga Kotogadang berbondong-bondong pergi kesekolah Belanda, dan kalau kita mau jujur (agak) melupakan agama, masih ada juga yang mendalami agama Islam.

Hal yang menarik lainnya dari makam beliau adalah namanya yang tertulis dengan huruf arab gundul di marmer yang terpasang disitu, Al Haj Muhammad Baril Ya’qubi. Nama beliau adalah Baroen dan nama bapaknya Ya’koeb. Kalau menurut kebiasaan disini nama beliau tentulah Baroen Ja’koeb atau Baroen bin Ja’koeb. Kelihatannya menurut versi arab nama beliau seharusnya adalah Baril Ya’qubi, dan ejaan itulah yang dipasang di kuburannya. Saya tidak bisa membaca keseluruhan yang tertulis di batu nisan itu. Disana tertulis 27 Rabi’ulawal 1342 dan 7 Nofember 1923. Tentulah itu adalah hari beliau meninggal. Ada juga tertulis angka 39 dalam huruf arab, saya duga itu adalah usia beliau ketika meninggal.

Hal yang saya sampaikan diatas menurut saya adalah alasan yang cukup kuat untuk mempertahankan surau dan makam inyik Haji Baroen tetap berada ditempatnya yang sekarang. Ini adalah bukti sejarah bahwa di Kotogadang pernah ada surau pengajian yang terkenal. Gedung suraunya sebaiknya diperbaiki dan dirawat sebagai salah satu aset heritage village, bukannya digusur ataupun dirubuhkan dan diganti dengan bangunan baru sebagaimana keinginan PPMTRIAB yang saya singgung pada awal tulisan ini.

Surau inyik Haji Baroen dan surau Lakuak adalah peninggalan yang masih ada yang menunjukkan surau pengajian pernah ada di Kotogadang. Surau Gadang sudah tidak ada lagi, sedangkan surau Mudiak sekarang merupakan bangunan baru yang sama sekali tidak menyisakan bentuk yang aslinya..

Terlepas apakah kaum Sikumbang mengizinkan surau itu digusur atau tidak, kami cucu-cucu inyik Haji Baroen yang di Piliang tidak menyetujui pusaro beliau dipindahkan.
Kotogadang, 28 Juni 2007

Roehana Koedoes

Roehana Koeddoes begitu sapaan yang lengket pada sosok perempuan yang satu ini. Gadis kelahiran Kotogadang, 20 Desember 1884 ini memiliki nama asli Siti Roehana. Roehana Koeddoes adalah putri dari pasangan Moehamad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam. Sebagai seorang wanita yang lahir di Kotogadang pada masanya, Roehana adalah sosok seorang anak yang beruntung dari segi pendidikan. Terlahir di tengah keluarga yang intelek membuatnya dapat memperoleh berbagai pengetahuan yang sukar untuk didapatkan wanita pada umumnya saat itu. Pada masanya wanita seperti terbelakang ketimbang kaum lelaki apalagi soal pendidikan, hal tersebut ikut mendorong banyak anak perempuan untuk tetap bertahan dalam “kodratnya”, tidak memikirkan kemajuan dan menjalani rutinitas di dapur saja. Maklumlah saat itu pengaruh pemerintahan Belanda yang menempatkan bumi putera pada golongan bawah nyaris menyentuh semua aspek kehidupan rakyat Indonesia. Namun bagi Roehana ia tidak ingin masuk dalam ketidakadilan tersebut. Hal inilah yang menjadi awal keberhasilan seorang Roehana Koeddoes.
Ayah Roehana adalah seseorang yang berhasil di bidang tulis menulis dan seorang pegawai pemerintahan. Beliau kerap bertugas keluar daerah karena ilmu dan prestasi yang dimilikinya. Roehana kecil pun selalu ikut bertugas dengan ayahnya. Dari segi ekonomi dan pendidikan ia tidak kesulitan. Meski saat itu tidak ada sekolah umum untuk anak perempuan Roehana tidak pantang menyerah untuk medapatkan ilmu. Ayahnya mengenalkan huruf pada Roehana. Alhasil diusia 5 Tahun Roehana mampu mengenal abjad Latin dan Arab dan juga Arab Melayu. Dan berkat bantuan orang tua angkatnya, Ibu Adiesa yang merupakan tetangganya sewaktu ia ikut tugas ayahnya ke Alahan Panjang, diusia 8 tahun Roehana sudah dengan lancar membaca dan menulis dalam abjad Arab, Latin, Arab Melayu, Bahasa Melayu, dan Belanda. Ibu Adiesa juga mengajarkan Roehana merenda. Dan kerap ilmu lainnya didapatinya secara otodidak dari buku, majalah dan surat kabar yang dimiliki ayah dan orang tua angkatnya. Pada tahun 1897 ibu kandung Roehana meninggal dunia, setelah melahirkan adik Roehana yang ke-6. Ayahnya pun menikah dengan Asiah, adik Kiam. Hal tersebut dilakukannya agar Asiah dapat mengasuh Roehana dan adik-adiknya. Ayah tetap saja sering keluar daerah untuk urusan pekerjaan, namun Roehana makin tumbuh menjadi gadis dewasa. Sewaktu ayahnya bertugas ke Medan, ia tidak ingin ikut lagi. Ia ingin balik ke Kotogadang dan memajukan kampungnya dengan ilmu yang dimilikinya. Di Kotogadang, Roehana dan adik-adiknya hidup dan tumbuh dengan bimbingan Tuo Sini.
Menggali berbagai ilmu sudah menjadi kegemaran tersendiri baginya. Ia lebih memilih belajar berbagai ilmu dan kepandaian ketimbang bermain-main dengan teman sebayanya. Meski awalnya mendapat ejekan dari teman di Kotogadang karena lakunya yang sering menyendiri dan belajar, namun lambat laun teman-temannya tertarik dengan apa yang dilakukannya. Kegiatan Reohana membacakan cerita untuk adik-adiknya mengundang ketertarikan teman-temannya untuk mendengarkannya. Tanggapan positif tersebut berlanjut, teman-teman Roehana tidak hanya tertarik untuk mendengar tapi ingin ikut bisa membaca layaknya yang dilakukan oleh Roehana. Hingga lambat laun Roehana mengajarkan teman-temannya yang tertarik untuk menulis dan membaca. Hal itu pun mendapat tanggapan yang bagus dari keluarganya. Pada tahun 1908, saat Roehana berusia 24 tahun Roehana menikah dengan Abdul Koeddoes yang juga merupakan salah seorang keponakan ayahnya atas perjodohan Tuo Sini. Abdul Koeddoes juga merupakan lelaki yang berwawasan luas dan dikenal dengan kepiawaiannya menulis untuk surat kabar. Ia sangat mendukung niat dan keinginan besar Roehana untuk memajukan pendidikan kaum perempuan.
Ritinitas Roehana untuk mengajar teman-temannya berkelanjutan. Ia membagi berbagai ilmu yang didapatinya selama ini. Namun pastinya jalan yang dijalani Roehana tidaklah mulus, banyak dari masyarakat yang berfikiran picik tentang apa yang dilakukan Roehana. Khususnya dari para orang tua mereka kerap melarang anaknya untuk belajar dengan Roehana karena dianggap kegiatan itu akan membuat anak-anak mereka lupa dengan “kodrat” mereka untuk mengurusi rumah, tidak hanya itu banyak lagi pemikiran-pemikiran negatif yang mencoba menghalang-halangi langkah baik Roehana. Hingga akhirnya pemikiran negatif tersebut beredar luas, murid Roehana makin hari makin berkurang karena takut dengan orang tua mereka. Lambat-laun Roehana letih dengan semua hujatan untuknya hingga ia sempat pindah ke Maninjau dan Padang Panjang, Roehana hidup di luar Kotogadang sekitar 3 tahun. Karena banyak murid yang meminta Roehana kembali ke kampung halaman lewat surat-surat yang dikirimnya pada Roehana, mereka meminta agar Roehana kembali ke kampung dan mengajar kembali, akhirnya tahun 1911 Roehana dan suaminya kembali ke Kotogadang.
Langkah Roehana makin kukuh untuk dapat memajukan pendidikan di Kotogadang. Ia mengadakan pertemuan dengan mengundang 60 Bundo Kanduang di Kotogadang dan juga yang berada di luar daerah (merantau). Roehana mengutarakan latar belakang, maksud, tujuan dan sejarah hidupnya secara panjang lebar. Tulisan Roehana mengundang desah kagum dari banyak kalangan. Niatnya untuk mendirikan sekilah untuk kaum perempuan akhirnya dapat diterima warga Kotogadang. Tahun 1911 berdirilah Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) yang memberikan wadah untuk perempuan Kotogadang untuk menggali berbagai ilmu. Mulai dari tulis-menulis, budi pekerti dan berbagai keterampilan lainnya. Kepeduliannya pada pendidikan tidak berhenti sampai disitu. Berawal dari kegemarannya membaca lalu ia pun membiasakan menulis, ia pun memiliki gagasan untuk mendirikan surat kabar agar komunikasi dan misinya untuk memajukan perempuan dapat diperluas tanpa harus bertatap muka, namun punya sarana yang pasti seperti surat kabar. Dengan dukungan banyak pihak akhirnya Roehana mampu merintis surat kabar khusus untuk perempuan di tanah Melayu. Ia pun menerbitkan surat kabar Soenting Melajoe. Dimana Roehana menjabat langsung sebagai pimpinan redaksinya di Kotogadang dan dibantu oleh Ratna Djoewita di Padang. 10 Juli 1912 surat kabar Soenting Melajoe yang pertama terbit. Lewat surat kabar tersebutlah Roehana menyuarakan kepeduliannya terhadap nasib kaum perempuan di tanah Melayu dan berbagai hal lainnya yang berisikan penyemangat kaum wanita untuk maju. Roehana lahir sebagai wartawati dan pimpinan redaksi Surat Kabar Perempuan pertama di Indonesia. Kesungguhan dan dedikasinya yang tinggi untuk kemajuan perempuan membuka mata banyak perempuan melayu untuk hidup lebih maju dan tidak terlindas zaman.(Sinta*)

H.Agus Salim

oleh : HI.St. Bandaro KaciakH. Agus Salim.
Pendekar “Bijak” dalam Berdiplomasi

Anonim menulis “sebagai tokoh perjuangan, ia punya kadar kualitas yang sulit dicari tandinganya. Terutama kecerdasannya, barangkali termasuk jenius. Semua orang yang pernah bicara dengannya mengakui itu. Mohammad Natsir (alm), tokoh Islam termasyur mengungkapkan, “ kalau kita hendak menggunakan kualifikasi intelektual brilian pada salah seorang putra Indonesia, maka saya rasa yang paling pertama tepat ialah pada Haji Agus Salim”

Tokoh tiga jaman, Prof.DR Ruslan Abdulgani, mengakui, “siapa yang pernah mengenal Oude Heer Salim dari dekat, pasti tertarik oleh nilai isi segala pembicaraannya, yang mencerminkan dua hal, yaitu ketajaman otak dan mendalamya kehidupan keagamaannya,”
Fisiknya biasa-biasa saja, bahkan ukuranya termasuk kecil. Yang tak pernah lupa adalah jengotnya selalu dipelihara dan rokok kretek yang tak pernah berhenti mengepul dari dua bibirnya. Tapi tubuhnya yang kecil, tidak menjadikan dirinya kecil hati berhadapan dengan orang lain. Justru ia tampak gesit dan selalu mendominasi dalam setiap pembicaraan, seolah tidak memberi kesempatan lawan bicaranya mengungkapkan dua atau tiga patah kata.
George McT. Kahin, professor di Universitas Cornell Amerika Serikat, mengungkapkan kesaksiannya sebagai berikut: “Saya mengundang kedua beliau itu bersantap di ruangan pertemuan tenaga pengajar, dan duduk di tengah kedua beliau itu saya terperangah. “ yang dimaksud beliau disitu adalah Ngo Dinh Diem, tokoh perjuangan kemerdekaan Vietnam Selatan, dan Agus Salim. Diem telah dikenal sebagai seorang yang senantiasa merajai setiap percakapan. Percakapan berlangsung dalam bahasa Prancis- bahasa yang paling dimahiri Diem. Namun, Haji Salim tetap mengungguli Diem, berbicara amat fasihnya, sehingga Diem tidak dapat peluang sedikitpun!”`
Lain lagi kesan Mohammad Hatta. Disamping kecerdasan, di mata mantan Wakil Presiden RI pertama ini, kekuatan Salim terletak pada keyakinan, ketangkasan, dan ketegasannya membela suatu pendirian yang sudah diambilnya. Setia kawannya juga besar. Ia sanggup menghadapi berbagai kesuliatan ddengan sabar.
Dengan segala kelebihannya itu, baik lawan maupun kawan jadi segan kepadanya, termasuk Belanda. Di antara tokoh perjuangan, Salim termasuk yang belum pernah meringkuk di penjara. Meskipun kritikan-kritikannya kepada Belanda sangat berani dan tajam. “Saya selalu sangat hati-hati akan jangkauan undang-undang pengusa dan berusaha untuk tidak kena jerat, “kata Agus Salim tentang kiatnya.
Bukan berati tanpa kelemahan, Ia kadang kurang sabar untuk mengupas suatu masalah sampai tuntas,” ujar Hatta.
Tapi kelemahannya yang sungguh mengherankan sebagai mana dicatat Prof, Schermerhorn dari Belanda adalah, Salim melarat sepanjang hidupnya!
Sebagai seorang yang berpendidikan dan berkemampuan tinggi, apalagi ia menjadi pemimpin ternama, agag sulit dipahami bila Salim hidup dalam kemiskinan. Tidak sulit rasanya bila Salim yang menguasai 6 bahasa asing (Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, Arab dan Turki ) ini ingin hidup enak dan bergelimang harta. Dengan bekerja di pemerintah Belanda, misalnya, tentu ia akan kaya. Toh itu tidak ia lakukan.

Kukuh

Tahun 1925, ia pernah diminta menjadi pimpinan redaksi harian Hindia Baroe, milik seorang pribumi dan Belanda. Di tangan Salim, Hindia Baroe maju pesat. Tetap karna tulisan-tulisan Salim yang pedas dan tajam mengeritik Belanda, membuat pemiliknya gerah juga . Mereka meminta Salim memperlunak Kritikannya. Tanpa pikir panjang, esok harinya Salim mengundurkan diri dari jabatanya.”Pendapat saya tentang Pemerintah Hindia Belanda dan kebijaksanaannya, saya tidak bersedia ditawar-tawar,” katanya kepada Mohammad Roem yang menanyakan keputusannya itu.
Di Jakarta ia bersama keluarganya tinggal dirumah kontrak yang satu ke rumah kontrak yang lain. Bukan rumah megah di tepi jalan raya, melainkan dirumah jelek di gang-gang sempit dan becek. Di antaranya Salim pernah tinggal di daerah Tanah Abang di Karet , Jatinegara, Gang Kerlonong, Gang Tapekong, Gang Listrik dan banyak lagi. Khususnya di gang Listrik, di sinilah justru mereka hidup benar-benar tanpa listrik, karna tak kuat membayar sewa listrik
Mohammad Roem, orang yang sejak muda dekat dengan Salim menyaksikan sendiri. Salim dan keluarganya pernah tinggal dalam satu ruangan sempit. ”Kopor-kopor bertumpuk di pinggir ruangan serta beberapa kasur digulung , sedangkan di tengah ada ruangan yang bebas untuk duduk-duduk dan menerima tamu,” tutur Roem. Menderitakah mereka? Orang luar melihatnya tentu akan menjawab ya. Tetapi tidak dengan Salim. Ia adalah seorang ayah yang sangat dekat dan sayang pada keluarganya-semua anak-anaknya tidak ada yang disekolahkan di luar, tetapi di didik sendiri. Bukan tak mampu mengongkosi, tetapi karena prinsip. Seorang ayah yang pasrah dan tawakkal juga nampak dari sikapnya yang tenang ketika hendak pindah rumah, namun tak ada uang untuk biaya.”Allah Maha Besar. Kita tentu akan diberi-Nya jalan.”Katanya tenang. Tak lama kemudian datang wesel, kiriman pembayaran sesuatu yangtak di duga-duga.

Dibesarkan Belanda

Boleh di bilang, sejak remaja Salim di besarkan Belanda. Di samping menimba ilmu di sekolah Belanda, ia pernah di bimbing secara khusus oleh Brouwer, seorang guru Belanda yang terpikat kepada kecerdasannya. Semasa menempuh pendidikan HBS di Jakarta, ia juga indekos pada keluarga Belanda bernama Koks. Ayahnya juga termasuk pula pejabat di pemerintah Belanda sehingga hidupnya relatif tidak mengalami penderitaan karena penjajahan. Lalu mengapa ia kemudian berbalik menentang penjajahan Belanda.
Lahir dari pasangan Angku St. Mohammad Salim dan Siti Zainab pada 8 Aktober 1884 di nagari Kotogadang, Kabupaten Agam Sumatera Barat, sebuah nagari yang banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual di Indonesia. Ayahnya adalah seorang Hoofdjaksa (Jaksa Kepala) di Pengadilan Tinggi Riau dan daerah bawahannya. Kedudukan Hoofdjaksa bagi penduduk pribumi termasuk yang berkelas dan sangat terhormat. Itulah sebabnya Salim dan kakaknya bisa di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa.Selama menempuh pendidikan di ELS, prestasi Salim sangat cemerlang. Dalam semua pelajaran, ia mengungguli anak-anak Eropa lainya. Pun tatkala menempuh Hogere Burger School (HBS)- sekolah setingkat SMA khusus anak-anak Eropa di Jakarta. Salim yang punya nama asli Masyudul Haq ini tetap unggul. Pada akhir studi, ia berhasil keluar sebagai lulusan terbaik di HBS se- Hindia Belanda (Jakarta, Bandung dan Surabaya).
Sebenarnya ia ingin melanjudkan studi kedokteran di Belanda, tapi kandas karena tiada biaya. Berbagai upaya dilakukan, diantaranya mengajukan beasiswa dan persamaan status kewarganegaraan sederajat dengan bangsa Eropa, namun gagal juga. Kabarnya, Kartini pernah mengusahakan beasiswa untuk salim, tetapi juga nihil. Disinilah awal titik balik pada diri Salim mulai muncul. Ia mulai tidak senang kepada Belanda yang menjalankan politik diskriminasi.
Gagal berangkat ke negeri Belanda, Salim kembali ke Riau dan bekerja pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Disini ia bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris. Sebagai lulusan HBS, ia mememang menguasai sejumlah bahasa asing: Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman. Untuk pemuda seukuran Salim (21 Th), pekerjaan ini cukup mentereng.
Namun lain bagi kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang mencemaskan. Di mata kedua orang tuanya, putra kelima dari lima belas bersaudara itu menunjukan tanda-tanda menyimpang dari nilai-nilai masyarakat ketimuran, lebih-lebih Islam. Bahkan tanda-tanda menyimpang itu sudah dirasakan sejak Salim menempuh pendidikan di HBS. Salim sendiri tidak mengelak. Itu sesuai dengan pengakuan Salim ketika memberi kuliah di Cornell University Amerika Serikat tahun 1953.”Pendidikan HBS telah berhasil menjauhkannya dari Islam “, akunya. Setelah lima tahun di HBS, Salim merasa tidak dapat berpegang kepada salah satu agama apapun secara sungguh-sungguh. Hanya karena keluarganya termasuk taat beribadah, maka dalam berislam seakan-akan ia hanya melanjudkan tradisi. Saat itu ia melihat agama hanya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang yang kurang terdidik kalau tidak, orang bakal memasuki jalan sesat.
Dalam kondisi iman yang labil seperti itu, datanglah tawaran dari pemerintah Hindia Belanda untuk bekerja di Konsulat Belanda di Jedah, Arab Saudi. Atas dorongan orang tuanya, Salim pun berangkat ke Jedah pada tahun 1906 dalam usia 22 tahun. Orang tuanya berharap, selama di Arab Saudi itu, Salim bisa kembali memulihkan imannya Apalagi di sana ada pamannya yang menjadi guru besar sekaligus imam di Masjidil Haram, yakni Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabauwi, seorang ulama besar asal Minangkabau yang kini mungkin tidak ada yang dapat menyamai reputasi beliau.
Namun, selain orang tuanya, ternyata Prof Snouck Hurgronje juga berperan besar atas keberangkatan Salim Ke Jeddah itu. Dalam pertemuanya dengan Salim tahun 1906 di Jakarta, orientalis terkenal itu menyarankan Salim agar tidak usah melanjudkan studi kedokteran. “Kerena menjadi dokter itu bayarannya kecil;” ujar Hurgonje yang lantas menawarkan gagasan yang menurudnya lebih baik. Di mata Hurgronje, Salim adalah seorang intelektual muda yang sangat cerdas dan fikirannya tajam serta punya keberanian yang luar niasa untuk ukuran orang melayu. Maka atas anjuran Hurgronje pula pemerintah Hindia Belanda menawarkan pekerjaan di konsulat Jeddah. Disana Salim bertugas sebagai ahli penterjemah dan mengurusi jemaah haji asal Indonesia.
Terkabul harapan orang tua Salim. Disamping bekerja, Salim tekun mendalami Islam kepada Sych Ahmad Khatib, yang juga menjadi gurunya adalah KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadyah. Saat itu, Syech Ahmad terkenal sebagai salah satu tokoh pembaharu dari manzhab Iman Syafi’i
Sebagai orang yang pernah mendapat gemblengan dari sistim pendidikan barat dan berpengetahuan umum cukup luas, Salim menerima pelajaran dari pamannya dengan sikap kritis. Syech Ahmad meladeni pertanyaan muridnya itu dengan arif dan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot. Itulah yang membuat roh Islam menancap kokoh di sanubari Salim. Islam bagi Salim bukan lagi sebagai warisan semata, tetapi sudah dilandasi pemahaman yang mendalam. Ajaran Islam yang memang menentang penindasan atas manusia, apa lagi saat itu Muhammad Abduh, intelektual dari Mesir, sedang gencar-gencarnya melancarkan pembaharuan islam. Gerakan Abduh ini berpengaruh luas di dunia Islam dan membangkitkan negara-negara Islam yang masih banyak dihimpit kaum penjajah.
Salim kembali ke Tanah Air pada 1911. Sempat lima hari bekerja di Kantor Pekerjaan Umum Jakarta, Salim lantas mengundurkan diri dari pegawai pemerintah Hindia Belanda. Ia kemudian kembali ke Kotogadang mendirikan sekolah dasar HIS. Tahun 1915 ia kembali ke Jawa dan tak lama kemudian ia menceburkan diri ke dunia pergerakan lewat Serikat Islam (SI)

Pemberi Cap Islam di SI

Sejak masuk Serikat Islam (SI), peran Salim cukup besar. Bahkan dalam perjalannya, Salim pernah menjadi tangan kanan pimpinan utama SI, yakni HOS Tjokroaminoto. Keduanya punya kelebihan dan kelemahan yang saling melengkapi. Tjokro dikenal sebagai pemimpin yang kharismatik, sedangkan Salim adalah tokoh intelektual Islam yang luas pengetahuanya.
Menurut Derliar Noer, didalam bukunya Gerakan Modern Islam Indonesia, Salimlah yang lebih banyak memberi cap Islam pada SI.”Salim bukan saja yang mengetahui pikiran-pikiran Barat, tetapi dialah pimpinan SI yang paling mengetahui tentang Islam dari sumber aslinya,” tulis Deliar. Berbeda dengan Tjokroaminoto. D.A Ringkes, penasehat Bumiputra yang sering mengadakan perjalanan bersama Tjokroaminoto menilai, “Tjokroaminoto lebih merupakan priayi yang berpaham bebas daripada seorang Islam yang fanatik.”
Peranan Salim di SI sangat menonjol terutama alam merumuskan kebijakan dan strayegi perjuangan organisasi. Hal itu tampak saat ia berusaha membersihkan orang-orang PKI yang mulai menyusup ke tubuh SI. Usaha pembersihan itu terkenal dengan istilah “Disiplin Partai”. Pertentangan PKI dengan Islam di SI sudah mencuat sejak tahun 1917. PKI diwakil Dharsono, dan Semuan dari cabang Semarang, sedang Islam diwakili Agus Salim dan Abdoel Moeis. Sikap Tjokroaminoto sendir tampak kurang tegas terhadap konflik tersebut. Ia lebih mengutamakan persatuan di tubuh SI ketimbang perbedaan yangmenurutnya bukanlah sesuatu yang prinsip. Berbeda dengan Salim. Ia berpendapat masalah PKI sangatlah prinsip, karena menyangkut Kaidah.
Perdebatan sengit antara PKI dengan Salim tak terelakan saat digelar Kongres Luar Biasa SI ke-61 di Surabaya tahun 1921. Dua agenda besar dibahas dalam kongres : masalah disiplin partai dan penegasan asas SI . Soal diazas Salim menyatakan : “ tidak perlu isme-isme yang mengobati penyakit gerakan. Obatnya ada dalam asaz sendiri, asas yang lama dan kekal, yang tidak dapat dimubahkan orang, sunguhpun sedunia telah memusuhi dengan bentuk permusuhan lain. Asas itu adalah Islam.”
Dalam hal PKI, Salim meminta Kongres mengeluarkannya dari SI. Sambil mengutip ayat Al-Qur’an, salim menegaskan, “Di dalam Al-Quran terkandung perintah yang melarang kita bersaudara, yaitu berikatan lahir batin dengan orang yang tidak sama berkeyakinan dengan kita. Karena meraka akan selalu menjerumuskan kita dan mereka suka bila kita tertimpa bencana.”
Menanggapi Salim, semua menjawab bahwa SI perlu taktik yang lebih luas. Selama ini, katanya SI hanya mampu mengumpulkan orang Islam saja buat bekerjasama-sam membela hak rakyat. Padahal, selain Islam masih ada orang lain yang jumlahnya tidak sedikit. “PKI sudah nyata bisa membawa orang-orang Ambon, Manado, dan lain-lain rakya Hindia yang tidak beragama Islam. Bilangan mereka tidak sedikit, pengaruhnya harus pula dihargai . Disini PKI sudah membuktikan taktiknya, bekerjasama dengan orang Kristen guna keperluan rakyat.”
Akan tetapi, semua argumentasi dalam pembelaan Semaun dapat dipatahkan salim dan Moeis. Dalam kongres itu salim telah menunjukan dirinya sebagai pemimpin Islam yang tangguh, yang tidak saja menguasai ilmu-ilmu Islam, melinkan juga pemikiran-pemikiran Barat seperti Komunisme.Sehingga argumentasi Salim dalam perdebatannya dengan golongan Komunis sangat tajam. Kongres akhirnya mesahkan keputusan disiplin partai dan Islam sebagai asas SI. Akibatnya PKI harus keluar dai SI. Tak lama kemudian, Salaun dan Darsono,membentuk SI sendiri yang dikenal dengan sebutan “ SI Merah”.
Tahun 1934 Tjokroaminoto meninggan dunia. Salim menggantikannya sebagai ketua umum SI.Setelah itu peran Salim di SI surut, seiring dengan konfliknya dengan Aboekosno.Pokok utamanya adalah garis partai. Salim mengusulkan agar garis kebijaksanaan SI dirubah,dari non kooperatif menjadi kooperatif. Pertimbangannya ,demi menyelamatkan SI sendiri.Soalnya pada tahun – tahun itu sudah mulai bertinadak keras, terhadap pihak – pihak penentangnya.Tetapi karena usulannya itu Salim disingkirkan Aboekosno dari SI.
Tahun 1936, Salim bersama Sangadji membentuk Barisan Penyadar. Setelah pertai Masyumi muncul pasca kemerdekasan saling bergabung dengan partai politik terbesar yang pernah dimiliki umat Islam Indonesia itu.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953, ia mengarang buku dengan judul “ Bagaimana Takdir, Tawaqal dan Tauhid harus dipahamkan ?”. Yang lalu diperbaiki menjadi keterangan filsafat tentang Tauhid, Takdir dan Tawaqal.
Salim meninggal dunia pada 4 November 1954 pada usia 70 tahun di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta dan mendapat gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional tahun 1961. Salim meninggalkan 7 anak dan seorang istri bernama Zainatun Nahar Almatsier.

Diceritakan kembal oleh HI, dari Titian Kaba 02/10/06 ( FZ/tk dan berbagai sumber)