Datuk Sari Dirajo

Pada pagi hari tanggal 1 Desember 2013 telah diadakan Acara Bakambang Bidai Datuk Sari Dirajo dengan menunjuk e. Hanrozan Haznam sebagai pengganti b.e C D Datuk Sari Dirajo yang wafat pada tanggal 15 November 2013 di Jakarta. Semoga almarhum b.e C D Datuk Sari Dirajo diampuni seluruh dosa-dosanya dan ditempatkan di sisi Allah SWT sesuai dengan amal ibadah nya.

Datuk Malekewi

Pada tanggal 28 November telah dilangsungkan Acara Bakampuangan Ketek di Rumah Gadang Kaum Datuk Malekewi Suku Guci-Piliang Kanagarian Kotogadang jo Sudisiasek e Aditiawarman Bagindo Malekewi tanggal 1 Desember 2013 di Balai Adat Kanagarian Kotogadang.

Foto diatas diambil pada saat penyerahan SK Ninik Mamak Panghulu Nan XXIV tanggal 1 Desember 2013 di Balai Adat Kanagarian Kotogadang yang berisikan persetujuan untuk e. Aditiawarman Bagindo Malekewi manyaruangkan baju kebasaran Datuak Malekewi dari Pasukuan Guci-Piliang Kanagarian Kotogadang.

Insya Allah Acara Bakampuangan Gadang jo Alek Nagari akan dilaksanakan pada tanggal 20 dan 22 Juni 2014 di Rumah Gadang Kaum Datuk Malekewi Suku Guci-Piliang Kanagarian Kotogadang.

Penulis : Mastrialdi (Dedi) Sutan Maruhun diAtjeh

Ramainya Kotogadang….

Dipenghujung tahun 2013 ini, Kita semua yang pulang kampung, dapat merasakan betapa bergairahnya kehidupan di Kotogadang, khususnya pada saat agenda besar Nagari yaitu kegiatan Batagak Panghulu dimana rangkaian kegiatan di Kotogadang mulai tanggal 28 November sampai tanggal 3 Desember 2013.  Tak terasa betapa ramainya kehidupan saat itu, mengingatkan penulis pada tahun-tahun 1980-an setiap acara Manutuik Rayo di Kotogadang.

Betapa tidak, keramaian di Kotogadang ini karena pada pekan yang sama, diadakan 2(dua) acara Bakampuangan Gadang jo Alek Nagari, 1(satu) acara Bakampuangan Ketek jo Sudisiasek dan 1(satu) acara Bakambang Bidai.

Seluruh rangkaian kegiatan ini dimulai dengan acara Bakampuangan Ketek Batagak Panghulu Datuk Malekewi pada hari Kamis tanggal 28 November 2013, dilanjutkan dengan Acara Bakampuangan Gadang Batagak Panghulu b.e B R A Datuk Rangkayo Basa pada hari Jum’at tanggal 29 November 2013.

Keesokkan harinya Sabtu tanggal 30 November 2013 diadakan Acara Bakampuangan Gadang Batagak Panghulu b.e R I Datuk Tan Mangedan. Pada hari minggu tanggal 1 Desember 2013 diadakan sekaligus 2(dua) acara, pada pagi hari diadakan Acara Bakambang Bidai Datuk Sari Dirajo dengan menunjuk e. Hanrozan Haznam sebagai pengganti b.e C D Datuk Sari Dirajo yang wafat pada tanggal 15 November 2013 di Jakarta dan dilanjutkan dengan Acara Alek Nagari b.e B R A Datuk Rangkayo Basa pada siang harinya. Pada hari senin tanggal 2 Desember 2013 diadakan Acara Sudisiasek e Aditiawarman Bagindo Malekewi sebagai Calon Datuk Malekewi di Balai Adat Kanagarian Kotogadang. Barulah pada tanggal 3 Desember 2013, rangkaian panjang acara Batagak Penghulu di Kotogadang ditutup dengan Acara Alek Nagari b.e R I Datuk Tan Mangedan.

Datuk Rangkayo Basa-0

Dt Tan Magedan-0

 

Penulis : Mastrialdi (Dedi) Sutan Maruhun Diatjeh

Salam dari Urang Dapua….

Ass Wr Wb para dunsanak sekalain,

Pada kesempatan ini perkenankan Kami untuk menyampaikan kaba tentang perubahan dari web site kita ini. Kami berusaha menampilkan pembaharuan dan penyegaran terhadap layout maupun isi dari pada web site ini.

Perlu Kami sampaikan bahwa website Kotogadang ini sekarang bisa diakses oleh umum maupun diakses oleh member. Adapun perbedaannya adalah, pada akses member terdapat informasi-informasi yang hanya bisa dilihat oleh member dan tidak bisa dilihat oleh umum. Demikian juga hanya member yang dapat melakukan posting berita ke redaksi website ini untuk selanjutnya di approve, di edit atau di tolak untuk ditampilkan di halaman website ini.  Redaksi juga akan menentukan apakah berita yang dikirimkan tersebut cukup menjadi konsumsi member atau konsumsi umum.

Adapun untuk dunsanak yang akan menjadi member, bisa me-klik icon “Pendaftaran” di bagian atas atau icon “Register” yang terdapat di bagian kotak log in. Harap mengisi seluruh item yang disiapkan dalam form pendaftaran tersebut agar memudahkan redaksi melakukan proses approval.

Untuk selanjutnya, Kami dari redaksi website Kotogadang-pusako ini mengharapkan masukkan dan kritikan dari para dunsanak semua dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan website ini.

Kritik dan saran bisa dengan mengisi comment dibawah ini atau mengirimkan email ke mastrialdi@gmail.com dengan menyebutkan subject “Website Kotogadang-pusako”.

Dengan segala kerendahan hati, kami redaksi website Kotogadang-pusako ini memohon maaf yang sebesar-besarnya kalau dalam penyajian masih terdapat hal-hal yang kurang berkenan di hati dunsanak sekalian.

Wassalam,

Mastrialdi (Dedi) Sutan Maruhun Diatjeh

BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA

BERITA GEMPABUMI
No. : 93 /NSC/III /2007

1. Telah terjadi GEMPABUMI TEKTONIK
Pada hari : Selasa, 6 Maret 2007
Waktu gempa : 12:49:29 WIB
Pusat gempa : 0.47 LS – 100.49 BT
Kedalaman : 23 Km
Kekuatan : 5.8 Skala Richter
Keterangan : Pusat gempa berada di darat 11 km BaratDaya Batu Sangkar – Sumatera Barat

Dirasakan disekitar:

Padang : III – IV MMI
Pekan Baru : II – III MMI
Medan : I – II MMI
*MMI= Modified Mercally Intensity
2. Demikian Berita Gempabumi yang dapat kami sampaikan untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya

Jakarta, 6 Maret 2007
BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA
Ka. HUMAS
Ttd

EDISON GURNING

Ciri yang Melekat dalam Pemerintahan Nagari

Oleh Irman.

Demokrasi telah tumbuh sejak lama di ranah Minang, sebagaimana dalam sistem adat dan sistem pemerintahan Nagari yang demokratis dengan prinsip Tungku Tigo Sajarangan.

Di sini terbukti memberikan konfirmasi bahwa demokrasi sudah berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau di Sumbar. Dengan demikian sebetulnya perpaduan dalam unsur-unsur penting peraturan adat dan peraturan negara (peraturan perundang-undangan pemerintah) serta norma agama yang berjalan, sudah seharusnya dapat berjalan secara selaras, kompatibel atau dalam pepatah Minang disebut sebagai Tigo Tali Sapilin.

Kembali ke sistem Pemerintahan Nagari, bukan berarti kembali menyelenggarakan Pemerintahan Nagari seperti tempo doeloe, tetapi jiwanya menganut sistem pola penyelenggaraan demokratis yang diterima secara turun temurun oleh masyarakat Sumbar. Pola dimaksud selaras dengan sosial dan budaya masyarakat yang ditata denga manajemen strategi kekinian, sehingga dengan kembali ke sistem Pemerintahan Nagari dapat membawa efek penemu kenalan kembali (recreating) dari pencerahan masyarakat tentang pentingnya pembangunan dari dan oleh masyarakat Nagari secara demokratis. Konkretnya masyarakat perlu dilibatkan sebagai perancang pembangunan (planner) dan pelaksana pembangunan (implementator).

Pada saat ini, jumlah pemerintahan Nagari di Sumbar meliputi 583 nagari. Apa yang penting sebagai ciri yang melekat dalam pemerintahan nagari tersebut ingin saya angkat, yaitu: Pertama, ciri identitas.

Nagari telah menjadi simbol dan perwujudan berbagai tatanan serta sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya orang Minangkabau. Terbentuknya sebuah Nagari harus mengacu pada UU Pembentukan Nagari, bukan undang-undang dalam pengertian Ilmu Tata Negara. Tujuan yang ingin dicapai dengan UU Pembentukan Nagari adalah supaya ada kesamaan persepsi tentang Nagari di ketiga Luhak Minangkabau. Syarat berdirinya suatu Nagari meliputi: Nagari ba-ampek suku, Dalam suku babuah paruik, Kampuang nan ba Tuo, Rumah nan Batungganai.

Dengan persyaratan yang demikian, akhirnya Nagari merupakan satu-kesatuan masyarakat hukum adat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu dilengkapi dengan berbagai institusi berikut dengan berbagai tugas dan fungsinya masing-masing.

Kedua, ciri tanah sebagai simbol kekuasaan. Sebagai sebuah kawasan, Nagari erat kaitannya Tanah. Oleh karena itu eksistensi dan prestise sosial anak Nagari sangat erat kaitannya dengan tanah. Tanah adalah simbol dari eksistensi sosial dan keanggotaannya dalam komunitas Nagari. Memiliki tanah berarti menjadi anggota komunitas Nagari. Di Minangkabau. orang yang tidak memiliki tanah dapat dikategorikan sebagai orang yang bukan asli di Nagari yang bersangkutan.

Masyarakat Minangkabau adalah sebagai masyarakat komunal dan bukan bersifat individual, maka menurut hukum adat, tanah ulayat adalah kepunyaan bersama bukan kepunyaan pribadi yang disebut dengan hak ulayat masyarakat hukum adat.

Hak Ulayat, adalah hak penguasaan yang tertinggi atas tanah atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung dua unsur masing-masing bersifat perdata, berupa kepunyaan bersama para Anak Nagari yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek-moyang mereka dan merupakan karunia Allah SWT sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat.

Sebagai sarana pendukung utama kehidupan dan penghidupan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, tanah ulayat bersama tersebut perlu dikelola dan diatur peruntukan, penguasaan dan penggunaannya, maka kewenangan pelaksanaannya sehari-hari dilimpahkan dan ditugaskan kepada ketua adat dan para tetua adatnya.

Pelimpahan ini dalam hak ulayat berwujud seperangkat tugas dan kewenangan tertentu, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga, yang disebut “orang luar”. Inilah yang merupakan unsur kedua hak ulayat yang terletak di bidang hukum publik.

Jenis jenis tanah ulayat dalam masyarakat hukum adat di Sumbar dikenal dengan sebutan ulayat kaum, ulayat suku, dan ulayat Nagari. Tanah ulayat sebagai kepunyaan bersama adalah harta tanah yang diwarisi secara turun-temurun dari Ninik Moyang dalam keadaan utuh dan diwariskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan utuh. Karena dimiliki secara bersama, maka tanah ulayat tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain, tidak boleh dijual dan tidak boleh digadaikan, tanah itupun tidak bisa diberikan secara cuma-cuma.

Tanah ulayat tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain karena tanah ulayat bukan saja milik generasi yang sekarang tetapi juga hak generasi yang akan datang, yaitu generasi yang belum lahir, perbuatan menjual, menggadaikan atau perbuatan hukum lainnya yang maksudnya adalah untuk memindahtangankan tanah ulayat kepada pihak lain berarti menghabiskan hak generasi yang akan datang. Dalam perspektif adat Minangkabau, tanah ulayat, termasuk pusako tinggi yang tidak dapat diperjual-belikan berlaku ungkapan “dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan patuik”. Kecuali untuk hal-hal: Rumah gadang katirisan/Gadih gadang indak balaki/Mayiek tabujua di tangah rumah/Adaik jo pusako indak tagak.

Ketiga, ciri budaya. Pemahaman harta kekayaan Nagari bagi masyarakat Minangkabau (Sumbar) mempunyai pengertian yang luas, karena kekayaan Nagari tidak saja berarti kekayaan berupa fisik tetapi juga non fisik, seperti permainan anak Nagari, kesenian anak Nagari bahkan perantau pun merupakan sumber kekayaan bagi Nagari yang bersangkutan. Harta kekayaan Nagari secara makro lebih disikapi sebagai harta yang dapat dijadikan sebagai sumber peningkatan keuangan Nagari dan kesejahteraan anak Nagari. Pengertian yang terkandung dalam hal ini adalah: pertama harta kekayaan Nagari dimaksud merupakan harta yang fungsi dan pemanfaatannya diarahkan oleh Pemerintahan Nagari; kedua, harta kekayaan Nagari yang dikuasai dan dimanfaatkan secara kolektif oleh fungsional adat. Bila lebih dicermati tentang harta kekayaan Nagari ini lebih didominasi pada harta kekayaan kolektif kaum atau suku, sedangkan bagian yang dikuasai oleh Nagari adalah bagian-bagian untuk kepentingan umum yang diterima secara turun temurun, hibah ataupun dalam bentuk lainnya yang dikelola dan dimanfaatkan oleh anak Nagari.

Apa yang penting dari ciri-ciri yang diangkat itu, yakni sebagai potensi ketika Pemerintahan Nagari dhadapkan pada berbagai persoalan di tengah-tengah masyarakat yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat di Sumatera Barat. Ciri-ciri dimaksud menjadi sangat penting sebagai acuan berupa potensi untuk pengembangan, tetapi juga sekaligus merupakan rambu-rambu yang dapat menuntun pada pemecahan masalah. Pada konteks kertas kerja ini persoalan yang akan kita coba bahas ialah menyangkut peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui Pemerintahan Nagari.***

Sumber : Padang Ekspres

Menuju Pelestarian Kawasan Pusaka Nagari Kotogadang

1. Pelestarian Kawasan Pusaka

Pengertian pelestarian atau konservasi, dari kata conservation, sebagai suatu upaya untuk mempertahankan tetapi sekaligus dapat menerima adanya perubahan. Pelestarian adalah upaya untuk menjaga kesinambungan yang menerima perubahan dan/atau pembangunan. Hal ini bertujuan untuk tetap memelihara identitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik. Perubahan yang dimaksud bukanlah perubahan yang terjadi secara drastis, namun perubahan secara alami dan terseleksi. Kegiatan pelestarian ini bisa berbentuk pembangunan atau pengembangan dan melakukan upaya preservasi, restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi, dan/atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu. Dan perlu ditekankan bahwa pelestarian merupakan pula upaya mengelola perubahan, untuk kemudian menciptakan pusaka masa mendatang.

2. Pelestarian Kawasan Pusaka sebagai Total System of Heritage Conservation

Ketika dunia dilanda indoktrinasi tentang Pembangunan Berkelanjutan, kita di Indonesia sepertinya tidak punya pilihan dan nyaris tidak punya kontribusi apa-apa bagi pengembangan konsep yang lebih bercirikan lokal. Pada hal, manusia di Nusantara merupakan mahkluk yang dibesarkan oleh alam. Di Minangkabau, pembangunan berkelanjutan telah mendarah daging dalam pandangan hidup Alam Takambang Dijadikan Guru.

Pembangunan yang berorientasi kepada fisik saja, digarap secara sektoral, diputuskan secara topdown, dan melihat lingkungan sebagai variabel saja, mengakibatkan keharmonisan manusia dan lingkungan menjadi kehilangan keseimbangan, yang dengan mudah dapat dilihat dan ditanggungkan oleh kita semua sekarang ini. Kerusakan dan pencemaran lingkungan, hilangnya budaya tempatan dan hanyut dengan rayuan globalisasi, degradasi moral dan budaya, dan banyak lagi akibat yang tak tertanggungkan, mengakibatkan kita tidak lagi nyaman dan merdeka hidup di tanah leluhur sendiri. Kampung-kampung dan nagari-nagari kita tidak lagi menjadi sumber kemakmuran bagi masyarakatnya. Bahkan kita mudah melihat kantong-kantong kemiskinan dan kehidupan yang tidak bergairan dan tidak bermotivasi, dan lengang dari penduduk usia produktif. Sepertinya kita tidak punya rencana apa-apa untuk merespon kondisi yang memprihatinkan ini. Kalau adapun niat dan gagasan, tidak jarang hanya menjadi kebutuhan seremonial dan akhirnya hanya akan menjadi mimpi belaka.

Konsep pelestarian kawasan pusaka adalah sebuah gagasan yang baru tumbuh dan berkembang atas pengamatan dan pembelajaran dari berbagai tempat, yang kemudian disesuaikan dengan keberagaman dan potensi masyarakat tempatan di Indonesia. Konsep ini memandang perlunya sebuah kegiatan yang menyeluruh dari bentuk pelestarian atau sebuah total sistem pelestarian pusaka. Sehingga alam merupakan variabel utama pembangunan, yang tidak terpisahkan dari kegiatan berbudaya, dan bahkan cenderung melihat secara bersamaan atau yang disebut sebagai pusaka gabungan alam dan budaya yaitu pusaka saujana atau cultural lanscape.

3. Mengapa dan Apa Gunanya Menjadi Kawasan Pusaka

Mengapa pelestarian kawasan pusaka harus dilakukan ? Beberapa jawaban di bawah ini setidaknya dapat memberikan gambaran, sebagai berikut:

    • Sebagai sebuah bentuk kesepakatan bersama anak nagari, tentang mau di apakan dan di bawa kemana nagari ini.
    • Sebagai sebuah dasar pijak atau acuan bagi pembangunan di segala bidang atau penataan komprehensif multi sektoral pembangunan di Nagari
    • Sebagai sebuah strategi untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan yang bertujuan untuk mempertahankan dan melestarikan pusaka yang telah ada.
    • Sebagai sebuah pilihan utama anak nagari untuk dalam merespon dan menolak tawaran program pembangunan dari luar.

Apa gunanya:

    • Menggugah kesadaran anak nagari akan kekayaan pusaka yang mereka miliki.
    • Menggali potensi dan kekayaan pusaka nagari.
    • Membuat anak nagari menjadi mandiri dan kreatif serta menjadi pusat orientasi pembangunan.
    • Mendapatkan sistem pengelolaan pembangunan yang berkelanjutan dan berkesinambungan, serta menyeluruh.
    • Meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat melalui usaha-usaha peningkatan ekonomi.
    • Menciptakan sebuah simpul dari jaringan multi sektoral dan multi disiplin ilmu ditingkat lokal, nasional dan internasional.

4. Potensi dan Kendala Pusaka di Kotogadang

Nagari Kotogadang merupakan sebuah permukiman yang dibentuk oleh potensi dan keterbatasan daya dukung lahan. Dari nagari ini kita bisa belajar bagaimana potensi lahan di siasati dan kemudian membentuk sebuah wadah yang nyaman untuk ditinggali. Susunan pohon bambu melingkupi kawasan permukiman sebagai perlindungan dari angin dan perkuatan daerah tebing. Sawah berkembang di daerah tangkapan air, dan tanaman keras dibudidayakan di kawasan yang lebih tinggi. Kita selalu bertanya-tanya, mengapa pemandangan ke arah Gunung Singgalang dari arah jalan utama dapat dinikmati dengan baik. Apakah ini suatu kebetulan atau memang strategi konservasi kawasan produktif. Semua itu merupakan cerminan dari berguru kepada alam.

Bentuk dan ruang yang tercipta dari tatanan massa dan bentuk bangunan, memberikan atmosfir dan daya visual yang memikat. Bentuk limas atap bangunan yang lancip dan menjulang dengan badan bangunan warna terang dan masif, kontras seting lingkungan yang dominan horizontal, membuat paduan pusaka budaya dan alam ini sangat harmonis. Suasana nyaman didukung oleh keserasian bangunan akibat adanya karakter bangunan yang khas pada kawasan ini. Ruang-ruang antar bangunan mengalir dengan baik dan menciptakan ruang publik yang nyaman bebas dari kesan individual.

Kalau berjalan kaki menelusuri ruang-ruang antara bangunan itu, akan ditangkap vista yang mengalir serta ruang-ruang yang sering mempunyai kejutan, sehingga pengamat akan disuguhkan pengalaman ruang yang kaya. Pengalaman yang kaya itu dilengkapi pula oleh udara yang segar, suhu yang nyaman, serta pemandangan alam yang indah. Komposisi kekayaan pusaka ini merupakan paduan yang ideal apabila dilengkapi oleh aktivitas anak nagari yang dapat memberikan dinamika khas sebuah kawasan pusaka.

Pengalaman ruang akan diperkaya lagi, jika kita melihat lebih detil setiap bangunan yang ada. Diperkirakan Koto Gadang merupakan kompleks perumahan modern pertama yang dibangun di awal abad ke-20, yang jarang kita temui di negeri lain di Minangkabau, setidaknya dilihat dari sifatnya yang kolosal dan melingkupi lahan yang cukup luas. Keunikan ini tidak saja dilihat dari adukkan detil bangunan yang ada, pemakaian material serta memakai teknologi yang sangat maju pada saat itu. Demikian pula jika lihat dari furniture serta kelengkapan rumah yang terkesan mempunyai nilai cita rasa yang tidak rendah. Mungkin tidak ada bangunan yang benar-benar mirip, namun pengetahuan umum pada saat itu sudah mampu menciptakan tatanan lingkungan binaan yang harmonis satu sama lain.

Belum diketahui secara pasti sejak kapan proses degradasi lingkungan mulai terjadi. Dan apakah ini juga bersamaan terjadi dengan maraknya tradisi merantau, yang sulit dibedakan dengan keinginan mencari peruntungan di tanah seberang yang lebih menjanjikan. Atau apakah pada saat itu, nagari yang indah permai ini mulai tidak lagi menjanjikan kemakmuran.

Data sementara mengatakan bahwa tidak lebih dari 20% anak nagari yang tinggal di Koto Gadang. Data ini menguatkan bahwa penduduk usia produktif sangat sedikit. Kondisi ini mengimplikasikan tingkat produktivitas yang rendah di nagari, potensi nagari tidak tergarap dengan baik. Ini berlanjut dengan mulai terjadinya degradasi lingkungan dan nilai-nilai luhur yang pernah ada, yang disebabkan oleh nyaris berhentinya apresisasi budaya di kawasan ini.

Secara fisik degradasi lingkungan dapat terlihat dengan terjadinya sub-divisi bangunan, pembangunan pagar dan privatisasi lahan komunal, kapling lahan yang semakin kecil, perawatan rumah yang rendah, serta pertemuan bangunan lama dan baru kurang baik. Pada lingkungan alami terjadi kecenderungan berkurangnya daerah resapan air, konversi lahan pertanian, meningkatnya kepadatan bangunan, penebangan liar pohon, hasil pertanian yang menurun serta peningkatan pemakaian pestisida. Salah satu masalah utama adalah semakin berkurangnya suplai sumber air bersih akibat berkurangnya sumber dan tingkat pemakaian yang semakin tinggi.

5. Kawasan Pusaka: Merajut ‚Sejarah’ Masa Depan

Dari uraian sebelumnya dapat dipahami bahwa sebenarnya pengelolaan pelestarian kawasan pusaka adalah menimbang masa lalu dan merajut masa depan. Dua perkerjaan yang harus dilakukan sekaligus. Tidak mudah mencapai tujuan yang kadang kontradiktif sekaligus paradoks, namun mau tidak mau, suka atau tidak suka, anak nagari harus melakukan sesuatu agar nagari tidak terus mengalami degradasi lingkungan. Sementara itu, ancaman dan peluang dari kawasan di sekitarnya terus meningkat dan pilihan-pilihan pembangunan selalu datang dengan cepat tanpa sempat di respon dengan baik. Alangkah memprihatikannya apabila pilihan-pilihan tersebut tidak datang dari anak nagari, tetapi diputuskan oleh orang lain.

Wass.

DEK SUNGSANG BIN MANYAMPILANG

oleh : Luthy. Ada gempa mahadahsyat di Aceh. Masjid utuh tapi banyak rumah yang runtuh.

Sedangkan kejadian gempa di Sumatera Barat, rumah utuh tapi masjid banyak yang rubuh.

Satu di antaranya, Masjid Tapi di Kotogadang.

MAKA bertanyalah orang kepada Engku Labai tentang makna musibah ini.

Sang Labai menjawab dengan pertanyaan pula: “Lai juo rumah Allah di kampuang angku tu?”

“Lai,” jawab si penanya.

Labai kemudian bertanya lagi : “Yo bana lai?”

“Lai, Mak Labai. Musajik tu tonggak no ampek, gadang bana. Mimbar no model saisuak pulo…”

Mak Labai tercenung sejenak, lalu berkata:”Mantun ko, sanak. Nan ambo mukasuik

lai bapakai musajik tu sasuai jo ajaran nabi kito?”

“Tantu lai, angku Labai.” “Tapi tampak diambo, tibo ukatu shalat kadang-kadang nan jadi makmum, labiah

banyak malahan tonggak musajik.” Sebagai umat beragama kita tetap menaruh keyakinan runtuhnya Rumah Allah itu bukan lantaran amarah “Allah Maha Pengasih Mahapenyayang”, tapi merupakan isyarat agar rumahNya itu sudah patut ditata-ulang.
Pertama, karena lokasinya persis di garis patahan gampo.

Kedua, jika kelak dibangun kembali bisa diisi dan difungsikan sesuai dengan ajaran Islam.

Masjid Tapi runtuh digoyang gempa tanggal 6 Maret 2007 jam 10:00. Anak nagari dari rantau berambauan pulang.

Sekitar pertengahan Maret 2007, ada seorang anak nagari yang menjanjikan dana tersedia, lalu minta supaya gambar rancangan masjid segera disiapkan.

Maka 1 April 2007 sah terbentuk Panitia Pembangunan Masjid Tapi dan Rehabilitasi Air Bersih (PPMTRIAB).

Agenda kerja panitia, antara lain menyelesaikan gambar rancangan. Lokasi harus bergeser 20 meter dari tempat semula,berarti lahan perlu diperluas. Panitia menghubungi pemilik tanah yang akan kena lokasi masjid baru.

Awalnya disebutkan gampang, bahkan dibilang tanah itu bakal diwakafkan. Namun ternyata bakatengkong alias ribet.

Sebab, rupanya panitia penghubung cuma sekadar kontak halohalo dan sms.

Tidak langsung ketemu muka dengan pemilik,komunikasi sempat menimbulkan salah paham.

Terutama soal luas tanah yang akan dipakai.Dalam rapat panitia disebutkan perlu 1.500 m2, tapi yang sampai ke telinga pemilik hanya 50 m2. Dan jumlah inilah yang kemudian dicantumkan sebagai wakaf oleh pemilik dalam surat pernyataan tertanggal 6 Juni 2007.
Sementara itu, gambar rancangan rampung medio April 2007, dan di-acc di Jakarta serta Kotogadang,akhir April 2007. Giliran lokasi diukur, hasilnya banyak nan manyampilang alias tak cocok dengan rencana.

Misalnya, semula Surau Baru Inyiak Janus disetujui pemilik untuk dibongkar, ternyata batal.

Tanah persawahan yang tadinya perlu 1.500 m2, jadinya 1.220 m2. Dan pemilik tanah bersedia mewakafkan 350 m2 saja, sedangkan sisanya harus dibayar panitia Rp 74 juta. Itu dilunasi November 2007.

Biaya total pembangunan masjid sekitar Rp 1,8 milyar. Dana dihimpun sejak pertengahan Maret 2007 sampai dengan Juni 2007 berjumlah Rp 450 juta, yang mengalir dari anak nagari,dan sampai dengan Januari 2008 terkumpul sekitar Rp 1 milyar.

Lalu terdengar cerita dari Pemerintah Daerah Sumatera Barat akan menyumbang Rp 300 juta.

Bak kato Nabi, serahkan suatu pekerjaan kepada ahlinya, maka Juni 2007 penanggung jawab teknis sudah menyelesaikan gambar rancangan secara rinci. Ongkos pembuatan gambar itu Rp 45 juta, terbilang murah menurut ukuran biro arsitek.
Tapi sampai kini panitia belum membayarnya, dan Biro Arsitek “Atelier 6” pun belum mendesakkan pembayaran. Satu dari copy gambar rancangan itu diminta oleh ketua panitia, dijojokan katanya ada yang akan menyandang dana penuh. Disebutkan seluruhnya Rp 2,5 milyar.

Untuk pelicin aliran dana itu, katanya lagi, perlu 10% dari jumlah tersebut.

Lalu Rp 250 juta disisihkan ke rekening lain panitia, November 2007. Berjalan sekian bulan,

ternyata sang penyandang dana tak kunjung mencogok. Gambar siap, lahan pun siap, sebagian dana tersedia,maka lapangan pun ditata. Sesuai gambar perlu dibikin turap selingkar lahan, dan harus ditimbun.

Nah, proses pelaksanaannya bakatengkang karena masuk “orang yang bukan ahlinya”, dan mengabaikan samasekali “sang ahli”. Gara-gara cara kerja sungsang ini terjadilah surat berbalas surat, sms berjawab sms.

Suasana kerja panitia pun menjadi tegang tak menentu. Walhasil, PPMTRIAB kemudian diambilalih Ninik Mamak Penghulu Nan 24, pada 5 Februari 2008.

Lalu pengurusnya direshuffle: ketua panitia dan sang ahli dikeluarkan, serta ditetapkan panitia tidak lagi diisi dengan personil yang berstatus pemangku adat.
Alam takambang jadikan guru, kata sebuah petuah terkenal di Minangkabau. Runtuhnya masjid dihoyak gempa di kampung, Subhanallah, sungguh tidak diharapkan berbuntut runtuhnya pula marwah intelektualitas urang Kotogadang yang tersohor.

Mudah-mudahan kejadian ini jangan sampai terdengar oleh jurucatat

Museum Rekor Indonesia (MURI) : ada panitia pembangunan masjid bubar sementara masjidnya belum jadi……