Category Archives: Berita Terkini

Buletin Nagari

Kartini atau Rohana

Oleh : Asmanidar, Pemerhati sosial dan Perempuan

Besok, kita akan memperingati hari Kartini. Hari tersebut merupakan tanggal lahir perempuan pada 21 April 1879, yang selama ini dijadikan sebagai titik tolak untuk inspirasi dan kekuatan moral bagi kaum perempuan di Indonesia. Lahirnya Raden Ajeng Kartini yang dijadikan sebagai srikandi Indonesia yang begitu dipuja. Sungguh luarbiasa, seorang Kartini melalui kumpulan surat-menyuratnya “Habis Gelap Terbitlah Terang” menjadi inspirasi dan ilham bagi jutaan perempuan Indonesia untuk dapat sejajar dengan kaum pria.

Namun dalam tulisan ini, saya ingin sedikit memberikan penyadaran bahwa kita harus mengakui sebuah pepatah, “Tungau di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak”. Begitu mengagungkan Kartini, kita seakan lupa akan sebuah mutiara Ranah Minang sendiri. Dia Rohana Kudus, seorang srikandi Ranah Minang yang di kampungnya sendiri (Sumbar) malah juga tak begitu dikenal. Tidak banyak dari kita yang tahu siapa gerangan Rohana Kudus. Menyebut namanya, di tingkat lokal saja, kita mungkin cuma tahu, itu adalah nama jalan, nama gedung, nama usaha kripik balado di Kota Padang, dan sebagainya. Tapi soal kiprahnya? Hanya segelintir yang tahu, itupun mungkin tidak persis detilnya.

Perempuan yang lahir di Kotogadang, Bukittinggi 20 Desember 1884, adalah anak sulung dari pasangan Moehammad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam ini adalah wanita multi intelegensi. Bukan saja tercatat sebagai wartawan perempuan pertama Indonesia saja dengan mendirikan surat kabar Sunting Melayu, dia juga menjadi pelopor pendidikan dengan mendirikan sekolah keterampilan Kerajinan Amai Setia (KAS) yang merupakan permulaan industri rumah tangga (home industry) di Minangkabau dan penggerak politik perempuan pertama di ranah Minang.

Bagaimana dengan Kartini, ternyata orang yang selama ini dipuja-puja sebagai perintis emansipasi wanita di tanah air, ternyata kalah start dari Rohana. Jauh sebelum Kartini menuntut ilmu di sekolah perempuan Rembang, Rohana Kudus dan teman-temannya telah merintis ‘komunitas’ perempuan Koto Gadang untuk melek huruf! Tapi Kartini, malah rela dipingit, lalu menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri.

Tapi bayangkan betapa hebatnya kakak tiri Sutan Syahrir (perdana menteri pertama RI) ini, di saat yang lain belum melek membaca, alias buta aksara, dia sudah tampil sebagai “guru kecil” di usianya yang masih 8 tahun di tahun 1892. Kepadanya, rekan-rekan sebayanya belajar bermain sambil membaca.

Di usianya yang matang, sebelum dan setelah menikah dengan Abdul Kuddus, melalui perjuangan hidup yang jatuh bangun, mengalami berbagai benturan sosial dengan pemuka agama, adat, dan masyarakat umum, Rohana dipuji dan dikagumi, tetapi sekaligus difitnah dan dicaci maki, sehingga terpaksa meninggalkan kampung halamannya. Dia tetap berjuang, malah mendirikan Rohana School, sekolah kepandaian perempuan di Bukittinggi.

Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi, Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke Bukiktinggi melalui Ngaraik Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payokumbuah dengan kereta api.

Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika merantau ke Lubuak Pakam dan Kota Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Cina Melayu di Padang dan surat kabar Cahaya Sumatra. Perempuan yang wafat pada 17 Agustus 1972 itu mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara, serta menjadi kebanggaan bagi kaum hawa yang diperjuangkannya.

Penghargaan dari Pemprov Sumbar juga pernah didapatkannya, yaitu pada 17 Agustus 1974 sebagai wartawati pertama. Dan pada Hari Pers Nasional ke-3, 9 Februari 1987, Menteri Penerangan, Harmoko telah pula menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Bagaimana dengan Kartini, kumpulan surat-menyuratnya yang keasliannya sampai saat ini sulit ditunjukkan menjadi pahlawan perempuan sampai menjadi salah satu hari besar Indonesia. Sedangkan Rohana…. (***)

Sumber : Padang Ekspres

Kotogaang Berduka Lagi

kotogadang berduka
Allahuakbar… Allahuakbar
Ampunilah kami ya Allah
Maafkanlah kami ya ALlah

Ampunilah generasi Kotogadang yang lemah
dan tidak berdaya ini…
Untuk rumahMu yang suci
kami belum bisa membangunnya

Kesombongan yang membuat kami khilaf
Kekuasaan yang manjadikan kami lupa diri
Karena keangkuhan banyak kerja terbengkalai
Karena kearoganan banyak bahan jadi mubazir
dan terbuang percuma…

Kami malu ya Allah
Kami malu dengan diri kami sendiri
Kami malu dengan para pendahulu kami
dan malu dengan nenek moyang kami

Yang dulu mereka Engkau ciptakan
bisa menjadikan Nagari Kotogadang ini
Bagai mutiara dimata orang lain

Namun sekarang
semua bagai tiada arti…

Ya Allah.. ya Robbi
Berikanlah kami kembali hati nurani
Yang bisa melihat kesalahan ini dengan hati yang suci

Maafkanlah kami ya Allah
Kalau diantara kami ada yang salah
Menjalankan amanah yang dititipkan kepada kami
Ampunilah kami ya Robbi
Sesungguhnya kami lemah
Dan tiada berdaya

Haji Baroen bin Ja’koeb Pendiri surau pengajian pertama dan terakhir di Kotogadang?

oleh : A. Ikhdan Nizar St Diateh
Dengan surat bertanggal 3 Mei 2007, e.A.R Dt Tan Muhammad selaku Ketua Panitia Pembangunan Mesjid Tapi dan Rehabilitasi Instalasi Air Bersih (PPMTRIAB) Kotogadang menulis surat kepada uniang saya, rky. Erna E. Alzahir. Dalam surat itu, dalam rangka membangun kembali mesjid Tapi yang roboh karena gempa Maret 2007 yang lalu, diminta kesediaan memberi izin memindahkan makam yang ada dihalaman mesjid. Permintaan ini diajukan kepada uniang Erna karena dia adalah keluarga dari almarhum yang dikuburkan di makam itu. Surat itu dibalasnya dengan isi mengingatkan agar PPMTRIAB menelusurilah terlebih dahulu siapa yang berkubur ditempat yang diakui sebagai halaman mesjid itu dan siapa kaum keluarganya. Disamping itu jelaskan pulalah duduk tegaknya pemilik tanah.tempat pusaro itu berada sebelum memutuskan menggusur pusaro itu.

Hal ini menyadarkan saya betapa keinginan menjadikan nagari awak tu sebagai cagar budaya dengan istilah Kotogadang Pusako, atau lebih gagahnya lagi heritage village, perlu pemahaman dan dukungan semua warga Kotogadang.

Pusaro yang dimaksud oleh Ketua PPMTRIAB itu adalah pusaro almarhum Haji Baroen, suku Sikumbang ak. Dt Rajo Naando. Saya akan mencoba menuliskan siapa beliau dan kenapa pusaro beliau disitu.

Beliau adalah salah satu dari enam bersaudara anak tuo Djairah, suku Sikumbang ak Dt Rajo Naando. Saudara-saudaranya adalah tuo Azizah, tuo Hadisah, tuo Muzuna, tuo Latifah dan inyik Halim Dt Radjo Naando. Pada awal abad ke -20 beliau pergi ke Mekah untuk belajar mengaji. Sesudah lebih kurang empat tahun beliau disana belum ada tanda-tanda kapan akan pulang. Maka ditulislah surat oleh keluarganya yang meminta beliau untuk segera pulang karena biainya sakit-sakitan. Ini sebetulnya hanya taktik untuk mengakali agar beliau mau pulang. Ibunda beliau dan semua sanak saudara di kampung khawatir beliau kawin di Mekah dan tidak pernah pulang lagi. Mungkin karena ingat akan Syekh Ahmad Khatib, yang babako ka Kotogadang, cucu Tuanku Nan Renceh ulama kaum Paderi, yang pergi belajar ke Mekah lalu tidak pernah pulang lagi. Syekh Ahmad Khatib ini ahli fikih dan hukum Islam dan mencapai kedudukan Imam Besar Masjidilharam dalam Mazhab Syafi’i. Beliau menikah dengan puteri gurunya Syekh Saleh Kurdi dan tidak pernah lagi pulang ke Indonesia.

Ketika Haji Baroen pulang ke Kotogadang, ternyata ibunda beliau sehat wal afiat saja. Kemudian beliau dikawinkan dengan seorang gadis suku Piliang ak. Dt Kayo bernama Fatoemah. Inyik Haji Baroen pada waktu itu berusia menjelang 30 tahun.
Entah apa pertimbangannya beliau tidak kembali lagi ke Mekah melanjutkan pelajarannya. Mungkin karena masalah jauh dan biaya, mungkin pula karena ilmu yang diperolehnya dianggap sudah memadai, akan tetapi lebih mungkin lagi karena tidak diizinkan oleh kaum keluarga.

Beliau mempunyai putera 6 orang, yang tertua adalah Mazia, mama saya. Oleh karena itu kepada isteri beliau Fatoemah kami menyebutnya tuo, walaupun kemudian hampir seluruh orang di Kotogadang, generasi saya, menyebutnya tuo umi. Kepada beliau Haji Baroen kami disuruh menyebut inyik buya. Ini karena kami cucu-cucu beliau tidak ada yang sempat bertemu dengan beliau, kalau bertemu tentunya kami akan menyebut beliau inyik saja.

Karena beliau tidak lagi kembali ke tanah suci Mekah, maka beliau membuka surau pengajian di Kotogadang. Surau pengajian ini memberikan pelajaran serupa pengajian di Mekah, pesantren tradisional di Jawapun memakai cara seperti itu, tidak ada kelas-kelas. Semua murid duduk dilantai mengelilingi gurunya.

Surau inyik buya ini dibangun di tanah kaumnya yang bersebelahan dengan mesjid Tapi. Surau ini dibangun oleh isteri beliau dan ipar2 beliau suku Piliang ak. Dt Kayo. Saya mendengar dari e. P.R. Zakir St Mangkuto, bahwa ibunya yang kemanakan langsung inyik buya pernah berkata: “ Surau tu dibangun di tanah awak”. Menurut pendapat saya pesan beliau: “walaupun surau dibangun orang Piliang, tanahnya itu milik kita orang Sikumbang Dt Radjo Naando”.

Menurut mamak saya M. Amin Pamuncak Marajo, anak kandung inyik buya, pada waktu itu murid yang belajar mengaji ke surau inyik buya sangat banyak. Namanya murid-murid beliau itu mengaji, akan tetapi bukan belajar membaca Al-Quran, yang dimaksud adalah belajar ilmu keislaman yang lebih dalam. Murid yang banyak itu sebahagian besar berasal dari luar Kotogadang, bahkan ada yang dari daerah yang jauh seperti Aceh dan Tapanuli. Murid-murid mengaji itu, (sekarang lebih dikenal dengan istilah santri, suatu istilah dari Jawa ) mengurus diri sendiri, seperti memasak, mencuci pakaian dsbnya. Ketika muridnya makin banyak, sehingga tidak tertampung lagi di surau beliau, maka murid2 itu tidur di surau Lakuak dan surau Mudiak. Ketika kemudian murid2 itu semakin bertambah banyak juga, maka isteri beliau membangunkan surau yang disebut surau Gadang di tanahnya di sawahan. Sekarang surau Gadang itu sudah tidak ada lagi, disitu dibangun gilingan padi pada tahun 40-an oleh e. M. Jasin Dt Kayo. Sekarang gilingan padi itu diteruskan oleh mamak saya M. Amin Pamuncak Maharajo.

Inyik buya ini usianya tidak panjang, beliau meninggal pada tahun 1923 pada usia sekitar 39 tahun. Jadi surau pengajian beliau hanya berlangsung sekitar 10 tahun. Tidak diketahui apakah ada murid beliau yang berasal dari Kotogadang, sehingga tidak banyak diketahui apa ilmu yang diajarkan beliau sehingga muridnya banyak, bahkan berasal dari daerah yang jauh. Karena itu justru menjadi menarik untuk dibahas.

Tidak ada satu sumberpun yang bisa menyatakan apakah inyik Haji Baroen pernah belajar kepada Syech Ahmad Khatib. Menurut Ensiklopedi Islam terbitan PT Ichtiar Baru van Hoeve, Syekh Ahmad Khatib (1855-1916) walaupun bermukim sampai akhir hayatnya di Mekah, beliau tetap punya perhatian besar terhadap murid-murid yang berasal dari Minangkabau dan Indonesia. Murid-muridnya dari Minangkabau antara lain Syekh Jamil Jambek (inyik Jambek), Syekh Ibrahim Musa (inyik Parabek), Syekh Sulaiman ar-Rasuli (inyik Canduang), Dr H. Karim Amrullah (ayah buya HAMKA).. Kemungkinan besar salah satu dari guru inyik buya adalah Syekh Ahmad Khatib ini.
Syekh Ahmad Khatib melihat dua hal di Minangkabau yang sangat bertentangan dengan Islam, yang pertama masalah garis keturunan matrilineal dan kedua masalah tarekat naqsyabandiah. Pembagian harta kepada kemanakan dianggapnya harta rampasan, sedangkan tarekat dipermasalahkannya dasar syariahnya. Soal harta ini, kaum adat menjawab dengan membedakan pusaka tinggi yang berupa harta kaum diwarisi oleh kemanakan dan pusaka rendah yang berupa hasil pencarian, diwariskan sesuai hukum Islam.

Masalah tarekat yang menarik adalah tulisan Prof. DR Azyumardi Azra, mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah di Harian Republika 21 Juni 2007.
Saya kutipkan sebahagian sbb:
“Sebahagian kalangan Muslim sering meremehkan kekuatan dan keberlangsungan tasawuf. Tasawuf yang sering diamalkan dalam kerangka ‘organisasi’ yang dikenal sebagai ‘tarekat’ bagi kalangan ini, lebih banyak dianggap sebagai sumber bid’ah dan khurafat, yang berpusat pada pemujaan terhadap syekh-syekh tarekat”
“Memang pengamalan tasawuf sering mengandung ekses-ekses tertentu. Boleh jadi hal itu terlihat dalam bentuk ibadah dan amalan lainnya yang cenderung eksesif, ekstravagan dan berbunga-bunga. Atau, pemujaan yang sangat berlebihan kepada syekh sufi ….”
“ … karena tasawuf dan tarekat punya dinamika internal untuk memperbaharui dirinya agar lebih sesuai dengan syariah; pendekatan dan rekonsiliasi tasawuf dengan syariah bahkan menjadi gejala historis yang berkelanjut.”

Ketika inyik buya meninggal, tahun 1923, tidak diketahui apa pertimbangan keluarga pada waktu itu, beliau dimakamkan di halaman suraunya. Walaupun tanahnya milik kaumnya juga, pandam pekuburan kaum Sikumbang Dt Rajo Naando sebetulnya tidak jauh, berada disebelah Surau Gadang.

Saya tidak mau mengatakan bahwa yang diajarkan oleh inyik buya adalah tasawuf, karena tidak ada muridnya yang diketahui untuk dimintai keterangan, begitu pula tidak ada keterangan tertulis yang bisa mendukung. Ketika beliau meninggal, mama sebagai anaknya yang tertua baru berusia 8 tahun.

Ada beberapa cerita yang menarik yang diceritakan dari mulut kemulut sesudah inyik buya meninggal.

Pada hari beliau meninggal ada orang mau datang manjanguak kerumah biainya, kemudian tidak jadi naik kerumah karena melihat banyak orang (laki-laki) berjubah dan sorban serba putih yang memenuhi rumah sampai ke pintu, duduk serupa orang melayat. Ketika kemudian ditanyakan kepada isi rumah, ternyata yang dirumah tidak mengetahui ataupun melihat orang-orang serba putih itu..

Ketika mayat beliau yang sudah dikafani diturunkan ke liang kubur, yang manjawek atau yang menyambut didalam kubur hanya dua orang, yaitu engku guru Sukan dan engku Kahat. Hal ini karena inyik buya badannya kecil sehingga cukup dua orang saja yang menyambut jenazah beliau.
Ketika diterima ternyata bungkusan itu ringan sekali. Ketika buhul ikatan kafan dibuka rupanya kosong, tidak ada mayat didalamnya. Walaupun begitu deletakkan juga dalam liang lahat lalu ditimbun.

Versi lain lagi, ketika akan diletakkan dalam liang lahat mendadak menjadi ringan dan seperti ada kilat yang menembak keatas yang hanya dirasakan oleh orang yang dua orang itu. Katanya ada orang di Koto Tuo yang waktu itu melihat seperti kilat yang keluar dari bumi dan menembak kearah langit, terjadinya seperti di Kotogadang.

Kedua orang ini bersepakat agar tidal diceritakan kepada orang lain, agar kuburan ini tidak dikeramatkan. Kalau sempat dikeramatkan tentu akan sangat banyak orang berziarah ke Kotogadang yang tentu akan merepotkan kampung juga.

Cerita-cerita ini beberapa tahun kemudian keluar juga dan itu mungkin ada beberapa versi. Apakah benar atau tidak tentu tidak bisa lagi dibuktikan. Wallahu ‘alam.

Ada hal lain yang menarik lagi untuk dibahas mengenai satu-satunya suarau pengajian yang pernah ada di Kotogadang ini.

Dalam buku ‘Tuanku Rao” karangan M.O. Parlindungan disebut bahwa Kotogadang adalah desa yang dibangun Belanda untuk melawan kaum Paderi. Jelas ini tidak benar, karena ranji yang ada di masing-masing kaum pasti bisa menunjukkan bahwa jauh sebelum perang Paderi, Kotogadang sudah ada.

Dalam buku “Sumatera Barat, Plakat Panjang” yang ditulis Rusli Amran, pada halaman 173 diceritakan kenapa Kotogadang lebih dahulu maju dibandingkan nagari atau kampung-kampung lain. Ketika komandan militer Belanda di Sumatera Barat, De Steurs, berada dalam kejaran kaum Paderi seorang dari Kotogadang membantunya menyelamatkan diri. Sebagai balas budi dikemudian hari warga Kotogadang diberi kesempatan untuk mendapat pendidikan dan kemudian untuk menjadi pegawai Belanda. Warga Kotogadang memanfaatkan peluang ini dengan baik.

Tulisan tulisan diatas tidak bisa dibuktikan kebenarannya seratus persen, akan tetapi tulisan itu mengindikasikan bahwa dalam pertentangan kaum ulama yang didominasi penganut paham Wahabi dan kaum adat yang melahirkan perang Paderi, orang Kotogadang berpihak kepada kaum adat, sekurang-kurangnya bersimpati kepada kaum adat.

Akan tetapi hal ini bisa terbantahkan oleh kenyataan seorang bernama Abdul Latif berasal dari Kotogadang menjadi menantu Tuanku Nan Renceh, seorang ulama Paderi terkemuka, dan anaknya adalah Syekh Ahmad Khatib yang sangat kritis terhadap adat Minangkabau.
Disisi lain, di Kotogadang hampir tidak ada rumah bagonjong. Kalau dilihat kampung ini dibangun dengan tata planologi yang baik. Rumah-rumah terkelompok dengan baik, jalan menuju ke rumah-rumah itu jelas dan lebar. Tidak ada jalan menuju sebuah rumah yang perlu lewat disamping dapur orang lain, atau menyelip diemper rumah lain. Hal seperti ini banyak ditemui di kampng-kampung lain, akan tetapi tidak di Kotogadang.
Walaupun ini mencerminkan bahwa Kotogadang yang sekarang ini adalah kampung yang baru, model rumahpun ada kesan model Eropa, akan tetapi kebutuhan acara adat tetap terjaga. Semua rumah punya ruang tengah rumah yang panjang dan luas. Ini jelas untuk mengakomodasi kebutuhan acara-acara adat.

Kalau masing-masing kaum memeriksa ranji keluarganya, saya yakin akan menemukan bahwa semenjak pertengahan abad ke 19 banyak yang menjadi pegawai, baik itu jaksa, penjaga gudang hasil bumi (angku pakuih), guru, mantri hewan dan belakangan awal abad ke 20 dokter, sarjana hukum dan sebagainya. Walaupun begitu, apabila diperiksa ke generasi yang lebih awal, sebelum perang Bonjol, pasti diketemukan juga yang ber predikat haji. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya Kotogadang bukan sepenuhnya berpihak kepada kaum adat pada waktu perang Paderi. Terlebih lagi bila jika diingat menunai ibadah haji pada masa itu bukan sesuatu yang mudah dan murah.
Surau pengajian inyik Haji Baroen menunjukkan bahwa pada awal abad ke 20 dimana warga Kotogadang berbondong-bondong pergi kesekolah Belanda, dan kalau kita mau jujur (agak) melupakan agama, masih ada juga yang mendalami agama Islam.

Hal yang menarik lainnya dari makam beliau adalah namanya yang tertulis dengan huruf arab gundul di marmer yang terpasang disitu, Al Haj Muhammad Baril Ya’qubi. Nama beliau adalah Baroen dan nama bapaknya Ya’koeb. Kalau menurut kebiasaan disini nama beliau tentulah Baroen Ja’koeb atau Baroen bin Ja’koeb. Kelihatannya menurut versi arab nama beliau seharusnya adalah Baril Ya’qubi, dan ejaan itulah yang dipasang di kuburannya. Saya tidak bisa membaca keseluruhan yang tertulis di batu nisan itu. Disana tertulis 27 Rabi’ulawal 1342 dan 7 Nofember 1923. Tentulah itu adalah hari beliau meninggal. Ada juga tertulis angka 39 dalam huruf arab, saya duga itu adalah usia beliau ketika meninggal.

Hal yang saya sampaikan diatas menurut saya adalah alasan yang cukup kuat untuk mempertahankan surau dan makam inyik Haji Baroen tetap berada ditempatnya yang sekarang. Ini adalah bukti sejarah bahwa di Kotogadang pernah ada surau pengajian yang terkenal. Gedung suraunya sebaiknya diperbaiki dan dirawat sebagai salah satu aset heritage village, bukannya digusur ataupun dirubuhkan dan diganti dengan bangunan baru sebagaimana keinginan PPMTRIAB yang saya singgung pada awal tulisan ini.

Surau inyik Haji Baroen dan surau Lakuak adalah peninggalan yang masih ada yang menunjukkan surau pengajian pernah ada di Kotogadang. Surau Gadang sudah tidak ada lagi, sedangkan surau Mudiak sekarang merupakan bangunan baru yang sama sekali tidak menyisakan bentuk yang aslinya..

Terlepas apakah kaum Sikumbang mengizinkan surau itu digusur atau tidak, kami cucu-cucu inyik Haji Baroen yang di Piliang tidak menyetujui pusaro beliau dipindahkan.
Kotogadang, 28 Juni 2007

KATITIRAN DIUJUANG TANDUAK

Waktu berjalan begitu cepat… terasa baru kemaren aku melihat Angku Pakiah di surau Hilia mengaji sementara kami bermain dihalaman mesjid berlarian kesana kemari.

Terasa baru juma`at kemaren Angku Imam dimesjid Tapi berkhotbah diatas mimbar, sementara kami bercanda dengan berbisik-bisik di barisan belakang jemaah ju`mat.

Tidak ada satupun dari kita bisa menahan WAKTU.

Hari ini tanggal 30 januari 2008 disuatu tempat perbaikan mobil duduk seorang pria tua sedang membaca buku. Rambutnya sudah putih, wajah bersih, berpeci. Dari perawakannya masih nampak kegagahan beliau diwaktu mudanya. Untuk daerah Sumatera Barat sampai ke Malaysia mungkin wajah beliau tidak asing lagi…Buya Masoed Abidin, ketua MUI Sumatera Barat yang merupakan salah satu putra dari Angku Pakiah (ALM). Beliau sekarang sudah tua dan aku tidak anak-anak lagi.

Keberanian ku datang, batinku terpanggil untuk bersalaman dan ingin bertukar pikiran. Kesempatan tidak akan dating 2 x… Assalamu`alaikum Buya….?! Wa`aikumsalam w.w jawab Beliau.

Sedikit berbasa basi aku langsung memperkenalkan diri, dari nama.. anak siapa sampai cucu dari siapa, agar beliau bisa mengingat generasi dulu diwaktu beliau berada di Kotogadang. Ingatan beliau sangat tajam bahkan beliau masih ingat tokoh-tokoh agama dimasa dulu di kampung, mulai dari Angku Zalib, Angku Imam, Inyiak Aman (walinagari) dan lain-lain. Bahkan sampai beliau bercerita tentang putra Kotogadang yang menjadi Panglima terakhir Tuangku Imam bonjol yaitu Syeh Abdurrahman yang mayatnya dibuang belanda kedalam ngarai.

Pembicaraan semangkin hangat ketika menyangkut Nagari kecil Kotogadang disebut. Betapa bangganya aku ketika beliau berkata : Ambo tidak akan seperti sekarang ini kalau tidak terminum air Nagari Kotogadang.

Beliau begitu bersemangat ketika membahas Kotogadang dimasa penjajahan dulu sampai merdeka.

Banyak diantara putra-putra Kotogadang yang siap mati dan berkorban untuk Nagari maupun Negara. Ketika Kotogadang dihadapkan kepada masalah pelik menghadapi keadaan waktu itu yang sangat sulit, pergolakan begitu banyak menelan korban baik harta maupun nyawa, Kotogadang berada dalam situasi yang sangat genting. Namun bagi Ninik Mamak dan orang bijak putra-putra Kotogadang waktu itu situasi ini dihadapi dengan OTAK bukan dengan OTOT.

Misi diatur dan dipikirkan bersama hingga situasi yang bagaikan TELUR DIUJUNG TANDUK tadi dijadikan seperti KATITIRAN DIUJUNG TANDUK.

Nagari aman dari ancaman yang datang, bahkan misi bukan hanya menyelamatkan Nagari tapi lebih besar lagi. Para pemuda Nagari dan para intelektual bersama-sama menuntut ilmu dan belajar…. Bahkan sampai kenegeri Belanda.

Hingga Ilmu tadi bisa mengantar mereka untuk memegang tampuk-tampuk pemerintahan dan memegang kunci-kunci penting untuk mengatur dan menentukan. Dengan cara itu terbukti berapa banyak putra Kotogadang yang mengukir nama dalam menentukan dan merintis kemerdekaan Republik ini.

Namun mereka tidak pernah lepas dari nafas islami, sehingga mereka tidak lupa diri dan tidak lupa dengan nagari tempat kelahiran serta tanggung jawabnya untuk Negara. Semua itu pun sudah terbukti dan diakui dunia.

Bung Karno dibuku tamu Kotogadang menulis “ Negeri kecil yang menentukan perubahan Dunia “ ini salah satu bukti pengakuan yang ada.
Disaat itu… Kotogadang memiliki Alim Ulama yang handal, Ninik mamak yang Sadanciang bak Basi saciok bak Ayam, rasa cinta kampung yang sangat tinggi.

Melihat bentuk balai adat dikotogadang yang mereka bangun, melambangkan “ KOTO PILIANG INYO INDAK BUDI CANIAGO ANYO ANTAH“. Suatu falsafah adat yang tidak ada di daerah lain nya di Minangkabau. Disinilah letak istimewanya

Kotogadang. Mereka sudah membuat dan menjalankan DEMOKRASI dari dulu dikampung kecil ini, sementara orang lain meneriakan itu baru sekarang.

Satu-satunya nagari di Minangkabau yang menyatukan kedua kubu dalam satu wadah diatas Balai Adat antara Koto Piliang dan Budi Caniago yang jelas-jelas bertolak belakang. Namun di Kotogadang ini bisa dilakukan dan ada sampai sekarang… Alahuakbar hebat sekali.
Melihat bentuk Balai Adat di kotogadang di kedua ujung ruangan lantai ditinggikan dikedua sisinya. Secara sederhana dalam kehidupan bisa kita artikan ada tempat yang lebih tinggi atau dimuliakan bagi orang yang lebih tua dari pada kita.

Karena itu Balai Adat, berarti ada tempat bagi beliau Engku Datuak yang memang sudah sarat dengan pengalaman, ilmu apalagi umur dan memangku jabatan Datuak di Nagari Kotogadang yang harus di dahulukan salangkah ditinggikan sarantiang dilingkaran Ninik Mamak yang ada… mendapat tempat yang seharusnya.

Saat ini siapa yang meragukann Beliau Engku Dt.Magek Labiah untuk menduduki tempat yang ditinggikan tadi diatas Balai Adat itu ? Dari mulai Ilmu yang dimiliki sampai pengetahuan dan pengalaman beliau sebagai seorang Datuak di Kotogadang, apalagi rasa cinta kampung yang beliau miliki, kalau masalah umur ? Usia beliau sudah 84 tahun…

Dengan kehadiran beliau untuk memutuskan hal-hal penting untuk nagari Kotogadang saya yakin akan dapat meredam semua perbedaan yang timbul dikalangan Ninik mamak. Tapi kenapa beliau tidak pernah dihadirkan untuk hal-hal seperti itu ?

Saya masih ingat dalam acara Halal bi halal warga Kotogadang di Padang Tahun 2007 kemaren, disaat acara sedang berjalan saya tersentak melihat beliau datang memasuki ruangan dengan bersemangat. Semua tau kalau beliau dalam keadaan sakit, dengan sangat terharu saya hentikan acara dan saya himbau kepada seluruh warga yang hadir unuk menyambut beliau. Betapa tergugahnya kami disaat itu melihat semangat yang beliau perlihatkan.

Suatu berkah bagi semua yang hadir karena pada saat itu lengkap seluruh Ninik mamak yang berdomisili di Padang hadir. Mulai dari Be.Dt.Magek Labiah, Be.Dt.Toemangguang, Be.Dt.Bandaro Basa dan Be.Dt.Rangkayo Basa.

Untuk acara yang hanya seperti itu beliau tetap ingin hadir, apalagi kalau acara besar yang menyangkut tugas dan tanggung jawab beliau sebagai seorang Penghulu.

Pemikiran beliau sangat diperlukan, ilmu beliau tentang adat kotogadang sangat matang…

karena waktu tidak bisa kita tahan, dikampung Kotogadang sudah banyak kehilangan orang-orang yang tau tentang adat, yang mengerti tentang kehidupan banagari, maka sudah saat nya bagi kaum CADIAK PANDAI untuk merumuskan secara tertulis ketentuan ADAT SALINGKA NAGARI KOTO GADANG.

Yang akan menjadi pedoman, acuan tertulis bagi Ninik Mamak, walinagari dan seluruh anak nagari dalam menjalani hidup sesuai dengan Norma-norma yang ada di Kotogadang.

Kita yakin hal ini sudah dilakukan oleh para cadiak pandai namun belum dibuat dalam bentuk tertulis. Selagi masih ada tempat bertanya, selagi masih ada yang bisa kita lakukan kenapa tidak dimulai.

Kembali penulis ingatkan “ KITA TIDAK BISA MENAHAN WAKTU”

Supaya Kotogadang tidak berada seperti Talua diujuang tanduak menghadapi keadaan seperti sekarang ini.

Apabila hal ini tidak cepat diatasi dan diselamatkan maka talua diujuang tanduak tadi akan jatuh dan pecah.

Selamat tinggal Kotogadang yang penuh kenangan, yang hanya tinggal nama, NAMUN…. Kalau kita bisa jadikan dia seekor KATITIRAN …. Maka akan selamatlah generasi yang akan datang.

Kotogadang bukan hanya cerita tapi sudah punya pedoman Adat dalam bentuk tertulis.. yang bisa dibanggakan.
ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH.

SYARAK MANGATO ADAT MAMAKAI.

Semoga ini menjadi renungan kita bersama…. Terimakasih Buya Mas`oed.

RG St.Sinaro

SAROK TAPI

Ngarai Sianok Objek Wisata Terbaik Sumbar 2007

PADANG—MEDIA:

Panorama Ngarai Sianok di perbatasan Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam, terpilih sebagai Objek Wisata Terbaik di Sumbar dan meraih penganugerahan Padang Tourism Award 2007, karena mampu cepat pulih pascakerusakan berat akibat gempa 6,4 SR Maret 2007.

“Ngarai Sianok pantas menjadi yang terbaik, karena pengelola, pelaku dunia wisata, dan pemerintah daerah setempat cepat melakukan pembenahan pascaruntuhnya tebing-tebing ngarai oleh gempa, sehingga kini kembali menawan dan menjadi daya tarik panorama alam yang alami,” kata Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi di Padang, Jumat (28/12).

Hal itu disampaikannya, menanggapi terpilihnya Panorama Ngarai Sianok sebagai Objek Wisata Terbaik di Sumbar pada penganugerahan Padang Tourism Award (PTA) 2007 di Padang, Kamis (27/12) malam.

PTA digelar untuk kedua kalinya atas kerja sama Forum Wartawan Pariwisata Sumbar (FWPSB), Asita Sumbar, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumbar, serta Dinas Pariwisata Seni dan Sumbar.

Selain objek wisata terbaik, penganugerahan PTA-2007 juga diberikan bagi hotel kelas bintang terbaik, hotel kelas melati terbaik, biro perjalanan wisata terbaik, restoran terbaik, spa terbaik, toko/pusat souvenir terbaik, dan tokoh pariwisata terbaik.

Terpilihnya Ngarai Sianok sebagai objek wisata terbaik cukup mengejutkan, karena sebelumnya kawasan itu ditimpa bencana menyebabkan banyak tebing-tebingnya yang runtuh pascagempa tektonik 6,4 SR, pada 6 Maret 2007.

Ngarai Sianok berhasil mengalahkan objek wisata Pantai Padang, kawasan wisata tambang di Sawahlunto, Pantai Carocok di Pesisir Selatan, Embun Pagi di Agam, Danau Kembar di Kabupaten Solok, Lembah Harau di 50 Kota dan Anai Resort di Padang Pariaman.

Terpilihnya Ngarai Sianok, berdasarkan kuisioner yang dibagikan panitia kepada para wisatawan nusantara dan mancanegara serta penilaian dewan juri indenpenden yang ditunjuk FWPSB selaku penyelenggara PTA 2007.

Ngarai Sianok dan pengelolanya dinilai mampu menyajikan, melayani, mempromosikan dan mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya di objek wisata alam tersebut.

Ngarai Sianok merupakan sebuah lembah curam yang memanjang dan berkelok dari selatan Ngarai Kotogadang sampai di Ngarai Sianok Enam Suku, dan berakhir sampai daerah Palupuh, Agam serta memiliki pesona pemandangan yang indah.

Ngarai ini memiliki kedalaman sekitar 100 meter membentang sepanjang 15 kilometer dengan lebar sekitar 200 meter. Patahan-patahan ngarai membentuk dinding yang curam, bahkan ada yang tegak lurus dan membentuk lembah yang hijau, hasil gerakan turunnya kulit bumi (sinklinal) di masa lalu.

Di bawah ngarai mengalir Sungai Batang Sianok berair jernih dan terdapat hamparan persawahan menghijau dan perkebunan rakyat di antara dua ngarai.

Keindahan pesona alam, Ngarai Sianok membuat daerah ini ramai dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara sehingga menjadi salah satu andalan Sumbar dan Indonesia di sektor pariwisata. (Ant/OL-03)

Sumber: Media Indonesia Online

Berita Duka

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un

Telang berpulang ke sisi Allah SWT, b.e. J. J. Dt. Maharajo penghulu suku Piliang pada hari Senin 26 November 2007 pukul 7:45 pagi di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Jenazah di makamkan ba’da Ashar pada hari yang sama di TPU Tanah Kusir Jakarta. Keluarga yang ditinggalkan beserta segenap anak kemenakan Dt. Maharajo mohon maaf atas kesalahan & kekhilafan almarhum semasa hidupnya.

Banyak Pihak Kecewa Rohana Gagal Jadi Pahlawan Nasional

PADANG- Gagalnya Rohana Koeddoes menerima anugrah pahlawan nasional tahun ini, orang yang paling kecewa adalah Basril Basyar, ketua PWI Sumatera Barat.

Bagaimanapun, perjuangannya bersama PWI dan Himpunan Wanita Karya (HWK) sebuah organisasi wanita menyelenggarakan seminar Rohana Koeddoes bulan Mei lalu seolah tak ada artinya.

”Saya adalah orang yang paling kecewa. Sangat kecewa. Kami sudah mencoba maksimal memenuhi persyaratan yang seharusnya diajukan agar Rohana bisa diusulkan sebagai pahlawan nasional. Sepertinya semua persyaratan sudah kami penuhi. Termasuk rekomendasi dari segala lapisan masyarakat. Tapi kurangnya dimana lagi?” ucap Basril balik mempertanyakan.

Selain Basril, Dra Yasnida Syamsuddin, anggota DPRD kota Padang yang juga ikut terlibat dan tunggang langgang saat penyelenggaraan seminar, jadi patah arang. Padahal semangat juangnya ketika menyeminarkan Rohana termasuk tinggi bahkan bisa disebut luar biasa.

”Saya tidak tahu kenapa Rohana gagal jadi pahlawan nasional. Kami dengan panitia sudah mempersiapkan semua persyaratan. Bahkan ketika diminta kajian ilmiah, panitia pun sebetulnya juga mendukung. Tapi kenapa bisa gagal?” kata Yasnida sama terheran dengan Basril Basyar.

Ditambahkan Yasnida, ketika usulan dan berkas-berkas yang harus dilengkapi panitia seperti dimintakan Depsos sudah lengkap, selengkap-lengkapnya. Hanya saja, permintaan Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) yang dinilai mengada-ada dengan keharusan melakukan kajian ilmiah, masih tanda tanya dalam pikiran Yasnida.

”Kajian ilmiah itu seperti apa? Apakah seminar tidak sebuah kajian ilmiah? Kenapa MSI menuntut kajian ilmiah lagi?” kata Yasnida melepaskan unegnya.

Sedangkan bagi Sastri Bakry, ketua HWK yang menjadi motor dalam pelaksanaan seminar Rohana Mei lalu, menilai untuk sebuah perjuangan dalam waktu singkat mengusulkan Rohana sudah cukup. Tapi kenyataan ini sangat mengecewakan karena tidak sebanding dengan apa yang telah diperbuat Rohana .

” Apakah pahlawan itu harus militer? Lagian kita tidak tahu alasan penolakannya dengan pasti. Karena saat terakhir sudah oke dan saya diminta depsos mengirimkan foto rohana. Kita sudah kirim. Kalau tidak kita penuhi mungkin kita paham. Tapi kita tunggang langgang menyiapkan foto permintaaan mereka tapi penolakan mereka juga tidak ada,” jelas Sastri.

Bagaimanapun, sejarah tetap mencatat. Rohana adalah pahlawan bagi masyarakat Sumatera Barat. Tak ada orang Minangkabau yang tak tahu dengan kiprah Rohana. Kerja keras dan bukti nyata telah memberikan hasil bagi Kotogadang yaitu Amai Setia. (nit)

Sumber: www.padangmedia.com

Suksesnya Pencairan Bantuan Korban Gempa Tergantung Kebenaran Data

Agam, Singgalang .
Sukses atau tidaknya pencairan dana bantuan korban gempa Maret lalu, tergantung pada kebenaran data, terutama soal data rumah masyarakat yang rusak serta infrastruktur lainnya. Guna menghin­dari adanya kekeliruan data, mesti dilakukan sosialisasi dan pengumuman terhadap calon penerima bantuan. Untuk masalah ini, Pemkab Agam tidak menginginkan saat di­cairkannya dana bantuan bencana ditemukan kekeliruaan data. Dampak dari data yang salah itu jelas tidak menyentuh semua masyarakat yang terkena korban bencana alam serta merugikan warga. Sebelum Pemkab mencairkan dana tersebut, bakal digelar sosialisa­si dengan mengumumkan hasil data sementara nama-nama pemilik rumah yang mengalami rusak akibat gempa. Dengan dilaksanakannya sosialisasi dan pengumuman daftar nama sementara, bisa diharap­kan adanya masukan jika ada masyarakat yang tidak terdaftar namanya dalam data dimaksud.

“Ini lebih bagus ketimbang nanti muncul masalah. Lagi pula, yang menjadi rugi lantaran kesalahan data adalah masyarakat yang menjadi korban gempa,” sebut Wakil Bupati Agam, Ardinal Hasan menjawab Singgalang kemarin di Lubuk Basung. Dikatakan, bila ada warga yang tidak tercantum namanya, masih ada harapan untuk segera melaporkannya pada tim nagari atau kabupa­ten. Begitu juga sebaliknya. “Nah, bila tak ada masalah lagi, maka bantuan baru bisa di­cairkan. Kita sangat hati-hati sekali dalam masalah pencairannya. Jangan sampai pula ada pepatah, rumah sudah, tokok babunyi ,” ucap wabup lagi. Disebutkan, bantuan bencana ini bakal digulirkan secara bertahap. Tahap pertama tidak ada masalah, maka dilanjutkan tahap kedua. Untuk itu, peran walinagari sangat diharapkan sekali. Karena, walinagari paling tahu dengan kondisi masyarakatnya. Apalagi, walinagari sering berhadapan langsung dengan rakyatnya.

“Kita minta walinagari berperan aktif soal yang satu ini,” pinta Ardinal. Sebelumnya, Wakil Bupati Ardinal, dalam rapat dengan tim kenagar­ian dan tim kecamatan beberapa waktu lalu, mengatakan sebelum bantuan dicairkan terlebih dahulu dilakukan uji kebenaran data yang sudah ada. Kalau memang kebenaran data itu sudah benar, maka dana bantuan itu dicairkan sesuai dengan ketentuan. “Uji publik lewat sosialisasi juga mempunyai waktu yang cukup panjang. Dengan harapan masyarakat dapat menyampaikan hal-hal yang mungkin untuk perbaikan data calon nama-nama penerimaan bantuan itu. Tidak tertutup kemungkinan terdapat kekurangan atau kelebihan,” ulasnya lagi. Selain itu, kepada para camat dan walinagari sebagai tim verifi­kasi diminta supaya segera menyampaikan kepada tim kabupaten. Bila terdapat kesalahan pada daftar nama-nama sementara yang ditempelkan pada lokasi-lokasi strategis, secepatnya diperbaiki. n216

Sumber: Singgalang Online

Bupati Agam Aristo Munandar Bicara Potensi Daerah, Kampung Memproduksi, Rantau Memasarkan

Potensi daerah Kabupaten Agam yang sangat lengkap membutuhkan peran maksimal dari kalangan perantau untuk mengembangkannya. Semangat barek sapikua , ringan sajinjiang serta program peduli kampuang yang sejak lama dikumandangkan pemerintah Kabupaten Agam menjadi catatan penting yang selama ini menjadi motivasi luar biasa bagi Pemkab Agam untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Secara spesifik, kekayaan potensi alam yang komplit didominasi potensi wisata yang didalamnya bisa dikembangkan berbagai aktivitas ekonomi diakui masih belum berkembang optimal sesuai harapan. Namun, arah pengembangan yang dibuktikan dengan peran perantau serta kegiatan ekonomi yang sudah dilaksanakan beberapa tahun terakhir telah memperlihatkan perubahan cukup signifikan. Bupati Agam H.Aristo Munandar kepada Padang Ekskpres menyebutkan, tim ekonomi yang dibentuk Pemkab Agam mampu melakukan terobosan di berbagai lini bahkan sudah sukses meletakkan berbagai konsep penting yang beberapa waktu ke depan bisa menjadi tonggak kegiatan ekonomi yang mengarah pada upaya peningkatan ekonomi masyarakat.

Aristo Munandar mengaku, pihaknya bersama jajaran terkait di Pemkab Agam lebih memprioritaskan kokohnya pondasi, konsep dan strategis ekonomi untuk pengembangan ekonomi sejak dini. Karena dengan konsep dan strategi yang jelas dan terarah tersebut akan memudahkan pemerintah, kalangan usaha dan berbagai komponen lain untuk menggarap berbagai potensi yang dimiliki daerah. Diakui, untuk memperkokoh pondasi tersebut butuh kajian dan pembahasan yang matang, termasuk upaya pendekatan yang dilakukan dengan berbagai pihak, terutama kalangan perantau Kabupaten Agam.

Aristo Munandar selaku bupati Agam mengaku bangga karena para pengusaha sukses dan saudagar Minang yang beberapa waktu lalu menggelar hajatan dan silaturrahmi serta mempersiapkan program pengembangan potensi ekonomi daerah – justru didominasi perantau dan saudagar asal Kabupaten Agam. Hal itu disebutkannya sebagai kekuatan luar biasa bagi masyarakat Kabupaten Agam untuk mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi yang selama ini sudah dipersiapkan. “Bahkan kita secara khusus melakukan bahasan dengan saudagar Minang asal Kabupaten Agam dalam silaturrahmi saudagar Minang (SSM) lalu dan mendapat respons positif serta menghasilkan beberapa kesepakatan penting untuk membangun Agam secara utuh,” tegasnya optimis.

Aristo Munandar meyakinkan, potensi perantau Agam yang luar biasa sudah mempersiapkan program pendukung untuk pengembangan potensi daerah. Saat ini justru pemerintah bersama masyarakat Agam dituntut untuk mempersiapkan diri. Walau belum mengecurut secara spesifik berkait program pengembangan potensi ekonomi daerah. Namun jajaran terkait Pemkab Agam sudah mempunyai kesamaan visi dengan kalangan perantau untuk memadukan kekuatan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Potensi yang kini menjanjikan, terutama bidang pariwisata, perkebunan, kerajinan, industri menengah-kecil, perikanan darat-laut, pertanian, peternakan dan lainnya – kini dalam pembahasan serius untuk diolah maksimal sesuai program yang sudah disusun. Bupati Agam Aristo Munandar menyebutkan, pihaknya sudah satu visi dengan kalangan perantau dan saudagar asal kabupaten Agam , untuk membantu pengembangan potensi ekonomi di daerah. “ Kampuang memproduksi , rantau memasarkan, itu komitmen awal yang akan digarap lebih maksimal,” ulasnya.

Produksi di kampung halaman saat ini sudah cukup banyak, terutama hasil perkebunan sayur di wilayah Timur Agam, produksi ikan air tawar di danau Maninjau, industri kerajinan sulaman di IV Angkek, pandai besi di Sungaipuar dan berbagai potensi lain diharapkan didukung oleh pasar yang kuat di perantauan yang didukung para perantau dan saudagar asal Agam itu. Selain itu, diharapkan perantau memberi dukungan dan investasi usaha di kampung halaman, mengingat luar biasanya potensi wisata daerah, seperti danau Maninjau, potensi laut Tanjung Mutiara, Ambun Pagi, Puncak Lawang, Gunung Merapi-Singgalang, Ngalau Kamang dan potensi lain.

“Potensi wisata Agam sangat menjanjikan karena menjadi objek kunjungan Internasional oleh para wisata dari berbagai daerah di nusantara dan warga negara asing,” ulas Aristo. Selain itu, potensi perkebunan di wilayah Barat Agam sampai ke Palupuah sangat menjanjikan jika digarap lebih maksimal, apalagi saat ini potensi yang dimiliki sudah menjadi bagian penting untuk pendapatan asli daerah dan ekonom masyarakat. Sebelumnya, dukungan kalangan perantau pada masyarakat di kampung halaman sendiri sangat luar biasa hanya saja butuh strategi dan arah yang lebih fokus.

Sehingga program ekonomi tak hanya untuk pengembangan potensi yang dimiliki Agam, tapi secara khusus bisa mendorong upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat seiring program pengentasan kemiskinan berbasis mesjid yang sudah digelar setahun terakhir. Aristo optimis dengan agenda yang disusun sekaligus persiapan yang sedang dilakukan unsur terkait di Pemkab Agam – program yang sudah dibahas bersama kalangan perantau itu bisa terealisasi. “Potensi daerah Agam sangat menjanjikan namun butuh dukungan berbagai komponen masyarakat untuk merealisasikannya , kita sangat berharap akan dukungan itu,” tegas Aristo Munandar lagi. (***)

Sumber: Padang Ekspres

Halal Bihalal Kotogadang

Halal Bihalal Kotogadang 1427 H akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal : Minggu, 5 November 2006
Waktu : 09:00 – 14:00
Tempat : Auditorium Gedung Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi
Jl. Gatot Subroto kav 51 Jakarta Pusat

Busana khas Kotogadang

* Urang Gaek : baju kurung-kain jawo-selendang
* Pasangan mudo : baju kurung-selendang suji, sarawa jawo-baju cino-sarung bugis merah
* Anak bujang : baju cino-sarawa jawo-sarung batik
* Anak gadih : baju kurung-kain panjang-selendang